Membangun Kehidupan Alternatif dari Kampung {Membaca Program 100 Hari Kerja Bupati-Wakil Bupat Mimika dalam Terang David Harvey}
Oleh : Laurens Minipko
PARA pembaca yang budiman. Di tengah arus besar pembangunan yang kerap menyapu bersih ruang hidup lokal, suara kampung seringkali hanya jadi gema yang terendam. Tapi Mimika hari ini menorehkan janji berbeda. Dalam program 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Mimika, muncul satu semboyan yang menggugah: “Bangun dari Kampung.” Semboyan ini bukan sekadar kata. Ia adalah isyarat, sebuah tekad dan upaya rekonstruksi relasi antara negara dan rakyat akar rumput. Sebuah kemungkinan yang barangkali telah lama ditunggu. Membalik arah pembangunan dari pinggiran ke pusat.
Dalam kaca mata geografer sekaligus ontropolog kritis, David Harvey, pembangunan bukan sekadar tranformasi fisik, tapi benturan ideologi antara dua dunia. Dunia yang dikuasai logika pasar dan dunia yang diperjuangkan rakyat. Bagi Harvey, satu-satunya cara melawan kekuatan kapitalisme yang mengasingkan rakyat dari ruang hidup mereka adalah dengan “membangun kehidupan alternatif.” Dalam konteks Mimika, pembangunan dari kampung bisa dibaca sebagai upaya lokal untuk merintis kehidupan alternatif tersebut.
Tetapi sebagai bagian dari bentuk partisipasi warga, kita layak berefleksi. Sejauh mana program 100 hari ini sungguh membongkar struktur lama yang eksploitastif dan membangun tatanan baru (alternatif) yang membebaskan?
Mengenal Harvey Lebih Dekat
Satu dari sekian tuturan Harvey yang sangat terkenal “Dan satu-satunya cara untuk mengubahnya adalah dengan membangun kehidupan alternatif”. David Harvey adalah seorang pemikir dan praktisi ahli geografi dan antropologi marxis. Refleksinya menukik ke inti kerja kapitalisme dan mengungkapkannya dengan tujuan menginspirasi pemikiran dan politik (praktik) kaum pemberani yang cerdas. Ia seorang serjana kelahiran Inggris, dengan gelar Ph.D. Dalam geografi dari Universitas Cambridge, Profesor Antropologi dan Geografi terkemuka di Pust Pascasarjana Universitas Kota New York. Ia terkenal karena “konsistensi memahami dan menulis ulang” pemikiran Marx tentang kapitalisme dalam konteks pembangunan perkotaan. Pemikirannya banyak membahas bagaimana akumulasi modal (kapitalisme) membentuk dan mentranformasi kota (dari yang sederhana menjadi kompleks-dari “kampung” menjadi “kota”), serta dampak kapitalisme terhdap ketidaksetaraan sosial di dalam ruang kota-kampung.
Kerja besar di bidang tersebut (mendalami teori – menerapkannya dalam riset dan program lapangan) memberi andil besar dalam nama Harvey melahirkan teori-teori baru tentang pembangunan perkotaan, teori ruang, accumulation by dispossession, dan kompresi waktu-ruang.
Ia mengkritik cara kerja internal kapitalisme, menyoroti ketidaksejahteraan dan eksploitas yang melekat dalam sistem tersebut.
Dalam studi tentang pembangunan perkotaan ia berhasil merumuskan buah nalarnya dalam buku “Social Justice and the City (membahas bagaimana akumulasi modal membentuk ruang perkotaan dan menciptakan ketidakadilan). Dalam bingkai teori ruang (Absolute Space, Relative Space dan Relational Space), Harvey menegaskan kodrat ruang sebagai pusat kehidupan yang dibentuk oleh pengkristalan relasi kuasa yang timpang (sejarah kuasa negara, kapitalis dan rakyat kecil). Namun teori yang suaranya paling menggelegar dalam ruang studi kapitalisme Harvey adalah teori Accumulation by Dispossession (bahasa telanjangnya “penumpukan modal lewat perampasan”). Dengan teori itu Harvey merumuskan kesimpulannya bahwa kapitalisme terus-menerus memperluas diri dengan merampas aset-aset publik, ruang hidup, dan hak milik komunitas, lalu mengubahnya menjadi sumber keuntungan.
Satu lagi buah karya Harvey yang tidak kalah menarik adalah teori tentang “kompresi Waktu-Ruang.” Di sini ia mencerahi banyak pegiat pembangunan kota dan kampung untuk menyadari bahwa teknologi dan globalisasi mempercepat interaksi sosial (off line dan on-line) dan ekonomi di seluruh dunia (megapolitan-metropolitan-kota-daerah-kampung dan rumah tinggal). Kompresi ruang – kota ini dicirikan dengan dinamika yang selalu punya letupan temuan baru dan tidak berujung.
Mega karya Harvey ini akan penulis pakai untuk membaca, memaknai atau memberi bobot alternatif pada salah satu program kerja Bupati dan Wakil Bupati Mimika “Membangun Dari Kampung”.
Kampung: Ruang bukan sekadar lokasi
Selama ini kampung sering dimaknai sebagai “lokasi terpencil yang harus disulap menjadi kota”. Namun dalam perspektif Harvey, kampung adalah ruang sosial yang penuh makna: tempat lahirnya solidaritas, pengetahuan lokal, serta praktik ekonomi yang tidak tunduk sepenuhnya pada logika pasar. Proses itu terjadi bergenerasi. “Bangun dari kampung” tidak semestinya dimaknai sebagai urbaninsasi kampung, melainkan pengakuan terhadap kekuatan sosial kampung sebagai dasar peradaban.
Di sinilah letak tawaran alternatif Harvey. Daripada menjadikan kampung sebagai sasaran transformasi teknokratis (fisik dan teknologis), lebih adil bila kampung diperlakukan sebagai subjek, bukan objek. Dengan itu, kampung tidak kehilangan rohnya di tengah betonisasi pembangunan (Bahasa lain dari proyek tahunan).
Right to the Kampung
Harvey menyuarakan konsep “right to the citiy”- hak rakyat untuk turut mengatur dan menentukan arah pembanguan kota. Dalam konteks Mimika, kita bisa perluas gagasan ini menjadi “hak atas kampung” (right to the kampung), yakni hak rakyat kampung untuk menentukan prioritas pembangunan, mengelola dana desa secara mandiri, serta mempertahankan kearifan lokal sebagai kekuatan utama pembangunan sosial.
Dalam Rebel Cities (2012), Harvey membuka ruang pemahaman kita bahwa siapa pun termasuk perempuan berhak bukan hanya hadir di forum kampung, tapi berkuasa mengubahnya. Alasannya, karena perempuan kerap tidak diakui sebagai subjek pengambilan keputusan ruang (kota dan kampung). Padahal patut digaraisbawahi bahwa penggusuran, pembangunan, dan dispossession sering berdampak paling berat kepada perempuan dan anak-anak, tapi pada saat yang sama mereka tidak dihadirkan dalam forum formal pembicaraan ruang.
Kebijakan yang hanya menaruh proyek di kampung tanpa menempatkan rakyat dan perempuan sebagai aktor utamanya, hanya akan melahirkan ketimpangan baru. Kampung dibangun, tetapi rakyat tetap dipinggirkan.
IPM dan Ilusi Statistik
Sering pembangunan dievaluasi dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), serapan anggaran tahunan (induk dan perubahan), atau panjang jalan yang dibuka, dan lain-lain. Tetapi seperti yang dikritik Harvey, indikator semacam itu justru bisa menjadi kedok yang menutupi persoalan struktural. Angka IPM bisa naik, tetapi apakah itu berarti masyarakat kampung benar-benar hidup lebih bermartabat.
Kehidupan alternatif yang diperjuangkan Harvey bukan sekedar statistik, tapi dunia di mana warga punya kendali atas hidupnya sendiri. Artinya, pembangunan kampung tidak cukup berhenti pada angka, tapi harus menyentuh substansi relasi kuasa siapa yang bicara, siapa yang menentukan, siapa yang diuntungkan.
Menjemput dunia lain
Program 100 hari kerja ibarat sekeping uang logam yang memiliki dua mata penjuru yang membentuk satu makna nominal uang. Program itu memiliki dua wajah yang saling melengkapi. Ada wajah A dan ada pula wajah B.
Wajah A menunjukkan bahwa pimpinan sungguh-sungguh cekatan (tidak lamban) atau bertele-tele, memberi sinyal pada publik bahwa ia bekerja nyata, bukan hanya kampanye. Seratus hari pasca-pelantikan adalah periode bulan-madu, ketika publik masih memberi harapan di pundak pemimpin. Pemimpin bisa menggunakan momentum ini untuk konsolidasi internal (OPD, staf, elite lokal) dan membangun legitimasi awal. Ini fase teramat penting. Fase dimana pemimpin mengidentifikasi masalah krusial yang bisa ditangani cepat (misalnya pelayanan publik, perizinan, kebersihan kota, atau konflik sosial).
Pentingnya fase ini ibarat barometer untuk pemimpin mengelola kebijakan publik, dan publik mengukur kerja, pengabdian dan pelayanan pemimpin untuk seribu tujuh ratus duapuluh lima (1.725 hari) ke depan.
Wajah B memperlihatkan krusialitas dan prioritas program kerja. Tentu saja untuk program-progam kerja yang bersifat jangka panjang (pendidikan, kemiskinan, pengangguran, atau IPM) bukan tempatnya di fase ini. Namun embrio kebijakan dalam rangka merekonstruksi pardigma lama bidang-bidang tersebut sudah mulai dibibitkan di fase ini. Di sini dibutuhkan kesepahaman pemimpin dengan rakyat kecil. Pemimpin memahami kebutuhan rakyat, dan rakyat memberi dukungan pada kerja dan kinerja pemimpin.
Jika pembangunan hari ini hanya replikasi dari proyek lama yang hanya mengganti nama tetapi meminggirkan kampung, maka ia bukan kehidupan alternatif, tapi pengulangan yang menyamar. Tetapi, jika pembangunan dari kampung sungguh menempatkan rakyat dan perempuan di kampung sebagai pusat sebagai pemikir, pelaksana, pelaku langsung pengelolaan anggaran dan penerima manfaat maka kita sedang berjalan di jalan yang dirindukan Harvey, menciptakan dunia lain, dunia alternatif yang lebih bermartabat.
Program 100 hari Bupati dan Wakil Bupati Mimika hari ini punya peluang besar untuk tidak sekedar mengejar pembangunan, tetapi menciptakan sejarah baru. Sejarah dimana kampung tidak lagi dianggap beban masa lalu, melainkan benih masa depan. Karena dalam kampung kita bisa menanam kehidupan alternatif, dan di sanalah perubahan sejati tumbuh. {isi tulisan tanggung jawab penulis}