Luka Dualisme Lemasko dan Jalan Pengobatan
Bagi masyarakat Kamoro yang bergantung pada tanah, laut dan Sungai untuk hidup, konflik ini terasa seperti kehilangan kompas. Generasi muda Kamoro pun mulai mempertanyakan integritas lembaga adat yang selama ini diagungkan (KontenMimika, 1 Desember 2023).
Analisis: Adat, Kuasa, dan Modal Simbolik
Konflik Lemasko dapat dibaca melalui lensa teori sosial-politik dan antropologi. Michel Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan bukan hanya tentang menguasai sumber daya, tetapi juga tentang menguasai definisi. Siapa yang berhak bicara sebagai “wakil adat” dan apa yang dimaksud dengan “kepentingan Kamoro”.
Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai perebutan modal simbolik yaitu pengakuan adat, legitimasi moral, yang kerap menjadi pintu masuk untuk mengakses modal ekonomi dalam bentuk dana kemitraan atau kompensasi tanah dan kali yang tercemar.
Dualisme Lemasko menunjukkan bagaimana modal simbolik itu diperebutkan di arena yang dipengaruhi modal sosial (jaringan dukungan kampung) dan modal politik (relasi dengan pejabat daerah atau Perusahaan).
Dari perspektif antropologi politik, Lemasko dapat dibaca sebagai Institusi Hiubrid. Ia berada di persimpangan antara sistem adat Kamoro yang berbasis marga, garis keturunan, dan wilayah ulayat, dengan sistem organisasi modern berbentuk badan hukum. Dualisme lahir dari benturan dua logika legitimasi ini.
Kacamata Clifford Geerts memaknai fenomena dualisme Lemasko sebagai theatre state. Dalam budaya Kamoro, kekuatan pemimpin diukur dari kemampuannya memimpin ritual kolektif, seperti Karapao. Ketika Lemasko terbelah, kedua kubu memanfaatkan ritual ini sebagai panggung legitimasi.
Intervensi Eksternal
Sejarah konflik adat di Papua menunjukkan pola yang berulang. Ketika lembaga adat terpecah, posisi tawar mereka terhadap pihak luar melemah (Institutional Capture). Dalam konteks Mimika, perusahaan tambang dan pemerintah daerah menjadi pihak yang “diuntungkan” ketika suara Kamoro terbelah, karena tuntutan bisa dinegosiasikan dengan kubu yang lebih “kooperatif”.
Sejumlah pemerhati lokal mengingatkan bahwa ketidaksatuan Lemasko berpotensi membuat kesepakatan-kesepakatan penting, dari kompensasi tanah dan air hingga proyek infrastruktur ditandatangai tanpa persetujuan kolektif.
Jalan Keluar yang Diperlakukan
Konflik ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Sejumlah opsi yang dapat dipertimbangkan:
- Musyawarah Adat Netral, dipimpin oleh tetua adat lintas kampung yang tidak terlibat langsung dalam kedua faksi, tanpa kehadiran pihak luar yang berkepentingan.
- Reformasi AD/ART Lemasko, memastikan mekanisme pergantian kepemimpinan jelas, akuntabel dan diterima semua marga.
- Transparansi Dana dan Program, meminimalkan ruang kecurigaan dan tuduhan penyalahgunaan kewenangan.
- Pendidikan Politik Adat untuk Generasi Muda, membangun kesadaran kritis agar regenerasi kepemimpinan tidak mewarisi konflik lama.
Lemasko lahir untuk mempersatukan, bukan memecah belah. Dualisme kini terjadi hanyalah cermin dari tarik menarik kepentingnan di tubuh Suku Kamoro yang sedang berhadapan dengan arus besar politik dan ekonomi di Mimika.
Jika tidak segera diselesaikan, konflik ini berisiko meninggalkan luka sosial yang dalam, memeperlemah kedaulatan adat, dan mereduksi Lemasko menjadi sekadar nama dalam dokumen, bukan lagi ‘ROH’ yang mengikat orang Kamoro sebagai satu tubuh. (Isi tulisan tanggungjawab penulis)




















































