Oleh : Laurens Minipko

MAX WEBER pernah mengajarkan bahwa “Birokrasi modern adalah bentuk organisasi paling rasional yang dikembangkan masyarakat modern”. Namun, ia pun mengingatkan bahwa ketika birokrasi dikendalikan oleh kekuasaan personal dan hubungan patronase, ia justru menjadi penghalang utama keadilan struktural dan pelayanan publik.

Di balik gedung megah Pemerintahan Kabupaten Mimika, ada suara lantang menggelegar lebih keras dari biasanya. Bupati Mimika meminta para pegawai yang menduduki jabatan tidak sesuai kepangkatan untuk mengundurkan diri. Publik patut memberi pujian. Langkah berani dan tegas. Langkah ini, secara lahiriah, tampak sebagai bentuk ketegasan terhadap penerapan sistem birokrasi yang timpang bertahun-tahun lamanya. Berbarengan dengan nada itu, publik diingatkan akan luka lama dalam birokrasi Pemerintahan Kabupaten Mimika, dimana loyalitas politik kerap menenggelamkan prinsip meritokrasi.

”MTQ

Tulisan ini dibangun dari sudut pandang rakyat biasa yang terdampak pelayanan publik birokrasi Pemerintahan Mimika, dan sebagai bentuk tanggung jawab sosial untuk turut memberi sumbangan pikiran dalam rangka penataan birokrasi pemerintahan yang berkeadilan sosial.

Jabatan Tidak Lagi Soal Kapasitas 

Fenomena jabatan tidak sesuai pangkat bukan hal baru. Di banyak daerah, termasuk Mimika, praktik semacam ini terjadi akibat:

1. Intervensi politik dalam pengangkatan ASN.

2. Sistem promosi jabatan yang tidak berbasis kompetensi.

3. Dan lemahnya pengawasan kelembagaan terhadap proses mutasi/rotasi.

Akibatnya, ASN yang belum memenuhi syarat kepangkatan dan pengalaman bisa saja meloncat masuk jabatan strategis, hanya karena kedekatan, bukan kemampuan.

Menegakkan Sistem Merit

Langkah Bupati Mimika sesungguhnya selaras dengan kerangka dan regulasi ASN nasional, antara lain:

1. UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 69: Pengangkatan ASN dalam jabatan harus berdasarkan system merit: yakni kebijakan dan manajemen SDM ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan faktor lain.

2. PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (diubah melalui PP No. 17 Tahun 2020), Pasal 54: Pengangkatan jabatan harus mengacu pada perencanaan karier dan pengembangan kompetensi, bukan pada kedekatan pribadi atau kepentingan politik.

3. Surat Edaran KASN. Di dalamnya ditegaskan “melarang pengangkatan PNS ke jabatan yang tidak sesuai pangkat dan kompetensi karena dapat melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan dalam sistem ASN.”

Dalam kerangka pemikiran ilmu sosial, Max Weber memberikan sumbangan pemikiran yang teritik, yakni birokrasi ideal harus dibangun atas dasar sistem rasional-legal, di mana setiap jabatan memiliki tugas yang terstruktur, hierarki yang jelas, dan pengangkatan berdasarkan kualifikasi formal. Itu sebabnya, bila birokrasi dijalankan di luar prinsip itu maka organisasi tersebut telah melenceng dari rasionalitas, dan akan jatuh pada apa yang Weber sebut sebagai “kekuasaan tradisional” atau bahkan “kekuasaan karismatik” yang tidak stabil.

Namun, implementasi norma hukum dan moral ini masih kerap tersandung kepentingan pragmatis lokal, apalagi dalam daerah dengan kekuasaan politik yang terpusat pada figur tertentu (patronase kesukuan).

Dimensi Moral dan Risiko Politik

Permintaan bupati agar mundur seharusnya tidak hanya ditujukan kepada pejabat yang kini menduduki jabatan yang dimaksud. Amanat bupati tersebut berimplikasi moral. Di mana implikasinya? Pada tanggung jawab moral sosial atau kolektif. Bahwa pejabat yang mengangkat ASN secara pribadi harus bertanggungjawab, dan kepadanya diminta pertanggungjawaban. Jika tidak, maka proses ini hanya menjadi pembersihan simbolik, bukan reformasi struktural dan menyeluruh.

Lebih dari itu, ada pertaruhan moral lain:

1. Apakah birokrasi hanya menjadi perpanjangan tangan politik?

2. Apakah ASN masih punya ruang tumbuh lewat jalur kompetensi?

Kalau tidak, maka birokrasi akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan alat pelayanan.

Audit Jabatan dan Keadilan Struktural

Langkah mundur ASN dari menduduki jabatan tidak sesuai pangkat harus dibarengi langkah maju oleh pemerintah daerah:

1. Audit menyeluruh terhadap semua jabatan struktural, didampingi oleh KASN dan BKN.

2. Pembentukan tim seleksi terbuka dan transparan dalam mengisi jabatan.

3. Penguatan budaya merit dan sistem pengaduan internal, agar ASN bisa bersuara tanpa takut.

4. Libatkan elemen akar rumput dalam menata birokrasi pemerintahan mengingat muara kerja birokrasi yakni pada rakyat kecil.

Bukan hanya reformasi administrasi, tapi juga restorasi moral dan politik dalam tubuh birokrasi Mimika.

Restorasi moral dan politik, paling sedikit mencakup:

1. Audit dan transparansi jabatan (eselon, kepangkatan, kompetensi dan uji kelayakan, publikasi publik, KASN, BKN dan Ombudsman).

2. Penerapan sistem merit secara ketat.

3. Pemulihan etika pelayanan publik.

4. Penghapusan praktek patronase politik.

5. Keterlibatan publik dan media.

6. Pendidikan dan Kepemimpinan Keteladanan (moral, etis, pelayan dan kesaksian hidup yang baik)

Siapa yang Sebenarnya Layak Duduk di Kursi Itu? 

Dalam sistem yang sehat, jabatan bukan hadiah, tapi amanah. Bukan karena siapa yang dekat dengan kuasa, tapi siapa yang layak secara kapasitas dan kinerja. Langkah Bupati Mimika bisa menjadi awal yang baik, jika dijalankan adil, menyeluruh dan transparan. Tapi lebih dari itu, Mimika membutuhkan budaya birokrasi baru, yang tidak lagi menjadikan jabatan sebagai alat politik (balas jasa politik) melainkan tangga pelayanan demi keadilan sosial. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)