Dari Papua untuk Indonesia: Frans Pigome dan Arah Baru Kepemimpinan dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam “Tambang”
Oleh : Johanes E.S. Wato
DI UJUNG timur Indonesia, di tanah yang dikenal dunia karena kekayaan emas dan tembaganya, muncul sebuah pertanyaan lama yang kini menemukan konteks baru. Siapa yang memimpin, dan siapa yang diizinkan memimpin?
Selama puluhan tahun, politik kepemimpinan di Papua tidak bisa dilepaskan dari politik pengelolaan sumber daya. Gunung-gunung yang kaya mineral telah menopang perekonomian nasional, tetapi masyarakat adat yang menjadi pemilik sah tanah ulayatnya justru tetap hidup di pinggiran kesejahteraan.
Namun, dalam senyap, sebuah perubahan sedang terjadi. Sejumlah profesional Papua mulai menempati posisi strategis di institusi yang selama ini menjadi simbol sentralisasi ekonomi nasional. Salah satu di antaranya adalah Frans Pigome, sosok yang kini menjadi figur penting dalam perdebatan tentang masa depan kepemimpinan lokal dan tata kelola sumber daya nasional.
Dari Tiom Kecil ke Jantung Industri Tambang Dunia
Frans Pigome lahir di Tiom Kecil, Kabupaten Lanny Jaya, dari keluarga pendidik yang menanamkan nilai kerja keras dan pentingnya pendidikan. Ia memulai karier di PT Freeport Indonesia pada tahun 2004 di Divisi Keuangan dan Akuntansi. Antara tahun 2008 hingga 2016, Pigome dipercaya bekerja di kantor pusat Freeport-McMoRan di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, di mana ia terlibat dalam program pengembangan sumber daya manusia dan pelatihan global.
Pada tahun 2017, ia kembali ke tanah air dan menjabat sebagai (Technical Advisor to the Executive Vice President for Human Resources and Security- Penasihat Teknis bagi Wakil Presiden Eksekutif Bidang Sumber Daya Manusia dan Keamanan di PT Freeport Indonesia). Antara tahun 2018 hingga 2024, ia dipercaya menjabat sebagai (Vice President for Papua Affairs) Wakil Presiden Bidang Urusan Papua, di mana ia memimpin berbagai inisiatif peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam industri tambang, termasuk melalui program Institut Pertambangan Nemangkawi.
Kini, Pigome kembali menjalankan peran sebagai penasihat teknis di bidang strategis sumber daya manusia dan keamanan perusahaan, dengan fokus memperkuat kepemimpinan lokal dan pembangunan tenaga kerja berkelanjutan.
Kisah perjalanan karier Pigome bukan hanya tentang mobilitas vertikal, melainkan juga tentang perubahan paradigma. Bahwa orang asli Papua bukan sekadar penerima manfaat pembangunan, tetapi juga aktor utama yang merancang dan memimpin transformasi di sektor paling strategis negeri ini.
Paradoks Kekayaan dan Kemiskinan
Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) mencatat bahwa Papua menyumbang sekitar 15 persen nilai ekspor mineral nasional, terutama dari sektor tembaga dan emas. Namun, ironisnya, provinsi ini tetap menjadi salah satu dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia.
Kesenjangan ini mencerminkan model pembangunan yang terlalu lama menempatkan daerah kaya sumber daya sebagai penyumbang ekonomi nasional, tetapi bukan penerima manfaat yang sepadan. Dalam konteks itulah, munculnya kepemimpinan lokal seperti Frans Pigome menjadi simbol penting. Bukan hanya tentang representasi, tetapi tentang keadilan dalam pengelolaan sumber daya.
Pigome hadir di persimpangan penting antara ekonomi dan moralitas. Di satu sisi, ia memahami logika korporasi global, di sisi lain, ia membawa nilai-nilai budaya Papua yang menekankan keseimbangan, tanggung jawab sosial, dan penghormatan terhadap alam.
Kepemimpinan yang Berakar dan Membangun Jembatan
Rekan-rekan kerja Pigome menggambarkan dirinya sebagai sosok kolaboratif, komunikatif, dan tegas, tetapi juga empatik dan memahami konteks sosial masyarakat Papua. Dalam setiap langkahnya, Pigome berupaya menempatkan pembangunan bukan semata sebagai proyek ekonomi, melainkan juga sebagai ruang rekonsiliasi antara korporasi dan komunitas adat.
Nilai-nilai ini sejalan dengan konsep global Environmental, Social, and Governance (ESG) yang kini menjadi tolok ukur keberlanjutan korporasi dunia. Di Freeport, pendekatan ESG ini mulai diterjemahkan secara lokal, salah satunya melalui peningkatan jumlah tenaga kerja Papua di posisi teknis dan manajerial.
Menurut Laporan Keberlanjutan Freeport 2024, jumlah karyawan asli Papua yang menempati posisi profesional terus meningkat. Langkah ini tidak hanya memperkuat legitimasi sosial perusahaan, tetapi juga menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial dan partisipasi lokal.
Kedaulatan yang Belum Tuntas
Ketika pada tahun 2018 Pemerintah Indonesia melalui BUMN memperoleh saham mayoritas PT Freeport Indonesia, langkah itu dianggap sebagai simbol kedaulatan ekonomi nasional. Namun, di Papua sendiri, muncul pertanyaan yang lebih dalam. Kedaulatan milik siapa?
Apakah kedaulatan hanya berarti kepemilikan saham oleh negara, atau juga mencakup hak masyarakat adat untuk berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya di tanah mereka sendiri?
Selama bertahun-tahun, perubahan kepemilikan tidak selalu diikuti oleh perubahan struktur kepemimpinan. Masyarakat Papua masih sering menjadi penonton dalam panggung ekonomi yang sejatinya berdiri di atas tanah mereka. Kehadiran figur seperti Frans Pigome mengubah perspektif itu. Ia membuktikan bahwa kedaulatan sejati terletak pada partisipasi, bukan sekadar kepemilikan.
Dukungan dan Legitimasi Lokal
Kepemimpinan Pigome juga mendapatkan legitimasi sosial yang kuat. Dukungan datang dari berbagai elemen masyarakat Papua, mulai dari Majelis Rakyat Papua (MRP) hingga tokoh nasional seperti Natalius Pigai dan intelektual muda Yusuf Kobepa.
MRP dari berbagai wilayah Papua Pegunungan hingga Papua Barat Daya telah menyerukan bahwa “sudah saatnya orang Papua memimpin tambang mereka sendiri.” Dukungan ini bukan sekadar politik simbolik, tetapi ekspresi dari aspirasi kolektif untuk kemandirian dan pengakuan.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, legitimasi ini menjadi aset moral sekaligus sosial yang langka dalam dunia industri ekstraktif. Pigome mewakili harapan baru tentang bagaimana kepemimpinan lokal bisa berjalan berdampingan dengan profesionalisme global.
Tantangan: Dari Representasi Menuju Reformasi
Tentu, munculnya satu sosok Papua di posisi strategis belum cukup untuk mengubah struktur ketimpangan yang telah mengakar selama puluhan tahun. Diperlukan reformasi sistemik. Pendidikan vokasi yang kuat, jalur karier profesional yang terbuka bagi generasi muda Papua, dan kebijakan perusahaan yang berorientasi pada kesetaraan peluang.
Namun, simbol tetap penting ketika ia membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar. Kehadiran Pigome di jajaran manajemen Freeport menjadi titik balik moral dan struktural yang menunjukkan bahwa inklusi bukan sekadar wacana, melainkan arah transformasi nyata.
Menuju Tata Kelola yang Adil dan Inklusif
Dalam dunia yang semakin terhubung dan transparan, perusahaan dan negara dituntut untuk membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial. UNDP (2023) dalam laporannya menegaskan bahwa keberlanjutan hanya mungkin tercapai ketika masyarakat lokal diberi ruang untuk memimpin, bukan sekadar berpartisipasi.
Indonesia kini tengah membangun ambisi besar menjadi pusat industri hijau dunia, dari nikel di Sulawesi hingga tembaga di Papua. Namun keberhasilan ambisi itu akan bergantung pada satu hal. Seberapa adil dan inklusif tata kelola sumber daya dilakukan.
Dari Pinggiran Menjadi Pusat
Papua telah lama disebut sebagai “pinggiran republik”, tetapi melalui kepemimpinan seperti Frans Pigome, ia perlahan menulis ulang posisinya dalam narasi nasional. Kepemimpinan lokal di sektor tambang bukan sekadar simbol prestasi individu, tetapi juga jembatan politik dan moral. Bahwa pembangunan nasional dari bawah hanya bisa hidup dari atas nilai-nilai yang adil.
Sebagaimana seorang Pigome yang melihat perubahan dari luar negeri, saya percaya bahwa kepemimpinan baru Papua bukan sekadar urusan manajemen, melainkan tindak moral yang menandai bangkitnya inisiatif selang yang berakar dalam martabat manusia dan budaya bangsa.
Kisah Pigome Indonesia barangkali adalah keberagamanannya, maka membenarkan kepemimpinan yang berjiwa lokal Papua bukanlah pengecualian, melainkan jalan menuju republik yang lebih adil dan berdaulat atas dirinya sendiri. **
Tentang Penulis:
Johanes E.S. Wato adalah peneliti doktoral di Universitas Bonn, Jerman (BIGS-OAS, Kajian Asia Tenggara), yang meneliti tata kelola sumber daya, keadilan sosial, dan perubahan politik di Asia Tenggara.




















































