Apakah kedaulatan hanya berarti kepemilikan saham oleh negara, atau juga mencakup hak masyarakat adat untuk berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya di tanah mereka sendiri?

Selama bertahun-tahun, perubahan kepemilikan tidak selalu diikuti oleh perubahan struktur kepemimpinan. Masyarakat Papua masih sering menjadi penonton dalam panggung ekonomi yang sejatinya berdiri di atas tanah mereka. Kehadiran figur seperti Frans Pigome mengubah perspektif itu. Ia membuktikan bahwa kedaulatan sejati terletak pada partisipasi, bukan sekadar kepemilikan.

Dukungan dan Legitimasi Lokal

”SADAR

Kepemimpinan Pigome juga mendapatkan legitimasi sosial yang kuat. Dukungan datang dari berbagai elemen masyarakat Papua, mulai dari Majelis Rakyat Papua (MRP) hingga tokoh nasional seperti Natalius Pigai dan intelektual muda Yusuf Kobepa.

MRP dari berbagai wilayah Papua Pegunungan hingga Papua Barat Daya telah menyerukan bahwa “sudah saatnya orang Papua memimpin tambang mereka sendiri.” Dukungan ini bukan sekadar politik simbolik, tetapi ekspresi dari aspirasi kolektif untuk kemandirian dan pengakuan.

Dalam konteks sosial yang lebih luas, legitimasi ini menjadi aset moral sekaligus sosial yang langka dalam dunia industri ekstraktif. Pigome mewakili harapan baru tentang bagaimana kepemimpinan lokal bisa berjalan berdampingan dengan profesionalisme global.

Tantangan: Dari Representasi Menuju Reformasi

Tentu, munculnya satu sosok Papua di posisi strategis belum cukup untuk mengubah struktur ketimpangan yang telah mengakar selama puluhan tahun. Diperlukan reformasi sistemik. Pendidikan vokasi yang kuat, jalur karier profesional yang terbuka bagi generasi muda Papua, dan kebijakan perusahaan yang berorientasi pada kesetaraan peluang.

Namun, simbol tetap penting ketika ia membuka jalan bagi perubahan yang lebih besar. Kehadiran Pigome di jajaran manajemen Freeport menjadi titik balik moral dan struktural yang menunjukkan bahwa inklusi bukan sekadar wacana, melainkan arah transformasi nyata.

Menuju Tata Kelola yang Adil dan Inklusif

Dalam dunia yang semakin terhubung dan transparan, perusahaan dan negara dituntut untuk membuktikan bahwa pembangunan ekonomi dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial. UNDP (2023) dalam laporannya menegaskan bahwa keberlanjutan hanya mungkin tercapai ketika masyarakat lokal diberi ruang untuk memimpin, bukan sekadar berpartisipasi.

Indonesia kini tengah membangun ambisi besar menjadi pusat industri hijau dunia, dari nikel di Sulawesi hingga tembaga di Papua. Namun keberhasilan ambisi itu akan bergantung pada satu hal. Seberapa adil dan inklusif tata kelola sumber daya dilakukan.

Dari Pinggiran Menjadi Pusat

Papua telah lama disebut sebagai “pinggiran republik”, tetapi melalui kepemimpinan seperti Frans Pigome, ia perlahan menulis ulang posisinya dalam narasi nasional. Kepemimpinan lokal di sektor tambang bukan sekadar simbol prestasi individu, tetapi juga jembatan politik dan moral. Bahwa pembangunan nasional dari bawah hanya bisa hidup dari atas nilai-nilai yang adil.

Sebagaimana seorang Pigome yang melihat perubahan dari luar negeri, saya percaya bahwa kepemimpinan baru Papua bukan sekadar urusan manajemen, melainkan tindak moral yang menandai bangkitnya inisiatif selang yang berakar dalam martabat manusia dan budaya bangsa.

Kisah Pigome Indonesia barangkali adalah keberagamanannya, maka membenarkan kepemimpinan yang berjiwa lokal Papua bukanlah pengecualian, melainkan jalan menuju republik yang lebih adil dan berdaulat atas dirinya sendiri. **

 

Tentang Penulis:

Johanes E.S. Wato adalah peneliti doktoral di Universitas Bonn, Jerman (BIGS-OAS, Kajian Asia Tenggara), yang meneliti tata kelola sumber daya, keadilan sosial, dan perubahan politik di Asia Tenggara.