Oleh : Laurens Minipko

“Harapan adalah tindakan politis. Ia bukan sekadar menunggu, tapi berani merancang kemungkinan di tengah ketidakpastian” (Paul Freire)

PENGULANGAN pemungutan suara atau Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk posisi Gubernur Papua periode 2025-2030 bukan sekadar teknis elektoral. Ia adalah momen politis yang membuka ruang refleksi atas apa yang tidak selesai, apa yang terus diulang, dan apa yang mesti dibayangkan ulang.

”MTQ

PSU Pintu Gerbang Refleksi Kritis

PSU adalah momen politis yang membuka ruang refleksi atas apa yang tidak selesai. Ia wujud dari event politis yang abnormal. Mengapa?? Karena ia bukanlah bagian normal dari siklus demokrasi, melainkan tanda keretakan, sengketa, atau anomali dalam proses elektoral. Ia membuka “ruang krisis” yang sejatinya menguak cacat sistemik, bukan sekadar salah teknis.

PSU ini bukan saja jedah administratif, tapi momen kontemplatif. Masyarakat, penyelenggara, dan elite politik dipaksa menoleh ke belakang dan bertanya. Apa yang gagal kita bangun bersama sebagai fondasi demokrasi lokal?? Refleksi menjadi peluang untuk mengurai ulang soal partisipasi, keadilan politik, relasi pusat-daerah, dan kekuasaan informal (Ormas, aparat, premanisme, dll).

Apa yang tidak selesai?? Kalimat ini menyimpan kritik mendalam. Bahwa Papua hidup dalam akumulasi “penundaan sejarah”. PSU hanya gejala dari penyakit lebih dalam:

• Sistem perwakilan yang timpang.

• Politik uang dan kekerasan.

• Sentralisasi keputusan.

• Fragmentasi sosial akibat desain kekuasaan yang eksklusif.

Dalam perspektif ini (hermeneutika kritis), PSU bisa dibacara sebagai momen peristiwa yang mengungkap kebenaran tersembunyi. Ia seperti tetes air terakhir yang meluberkan gelas penuh konflik diam-diam.

PSU sebagai event politis yang abnormal. Ia bukanlah bagian normal dari siklus demokrasi, melainkan tanda keretakan, sengketa, atau anomali dalam proses elektoral. Ia membuka ruang krisis yang sejatinya menguak cacat sistemik, bukan sekadar salah teknis.

Jika PSU hanya dimaknai sebagai perbaikan prosedur, maka kita sedang menutup mata terhadap luka dan aspirasi yang lebih dalam dari rakyat Papua.

Filsafat Harapan dalam Ruang Politik yang Luka

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut bahwa harapan bukan sekadar optimisme buta, melainkan tindakan sadar untuk menolak determinisme. Dalam konteks Papua, harapan atas PSU seharusnya menjadi ekspresi kehendak rakyat, bukan sekadar keinginan elite. Namun, bagaimana harapan itu bisa lahir bila partisipasi masih semu, politik uang merajalela, dan kekuasaan terlalu elitis.

Harapan mesti dibarengi dengan rekonstruksi kepercayaan rakyat terhadap proses politik. PSU seharusnya menjadi ruang pembongkaran, bukan hanya siapa yang dipilih, tapi bagaimana rakyat diposisikan dalam skema demokrasi yang selama ini disabotase.

Fanon dan Luka Kolonial dalam Politik Papua

Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menulis bahwa kolonialisme tidak hanya menjajah tanah, tapi juga kesadaran. Papua masih berkutat dalam relasi kuasa yang timpang antara pusat dan daerah. Demokrasi prosedural seperti Pilkada sering kali justru menjadi alat penguatan kolonialisme internal. Di mana elite lokal mejadi perpanjangan tangan kekuasaan pusat, bukan wakil autentik masyarakat adat.

PSU Gubernur Papua harus dilihat dalam kaca mata ini. Apakah proses ini akan melahirkan kepemimpinan representatif? Atau hanya mengulangi sirkulasi elite yang sudah kehilangan koneksi dengan rakyat?

Arendt dan Tindakan Politik sebagai Ruang Baru

Hanna Arendt, dalam The Human Condition, berbicara tentang “natalitas”, artinya kemampuan manusia untuk memulai yang baru. Inilah esensi dari tindakan politik. Menciptakan ruang baru, bukan sekadar melanjutkan yang lama. Dalam konteks PSU, masyarakat Papua punya peluang langka untuk memulai ulang, bukan sekadar melanjutkan konflik dan kekacauan elektoral.

Namun ruang ini tidak bisa lahir dari birokrasi semata. Ia mesti diperjuangkan melalui diskusi publik, pendidikan politik rakyat, dan keterlibatan nyata masyarakat adat, perempuan, pemuda , dan gereja. Jika tidak, PSU hanya menjadi pengulangan yang membosankan. Demokrasi tanpa rakyat , legitimasi tanpa harapan.

Harapan Tidak Boleh Netral

Harapan adalah tindakan. PSU harus dijadikan peluang untuk membongkar sistem representasi yang pincang, yaitu ketimpangan kuasa (dominasi elite), formalisme representasi (dipilih vs mewakili), politik transaksional, dan distorsi sistemik (over intervensi negara, militer, polisi, mayoritas etnis dan agama). PSU ini harus merepresentasi ruang dialog akar rumput, dan menantang aktor politik untuk tidak sekadar menang, tapi MEWAKILI.

Ketika ruang perwakilan hanya menjadi panggung bagi elite politik untuk melanggengkan kuasa, maka sistem representasi itu pincang. Ia tidak lagi mencerminkan denyut rakyat, tapi sekadar gema dari kepentingan segelintir orang.

Jika rakyat Papua diminta untuk memilih lagi, maka mereka juga berhak untuk bertanya. Untuk apa kami memilih, jika suara kami tidak sungguh didengar? (Isi tulisan tanggung jawab penulis)