Aksi Damai Para Imam Menolak Geothermal di Ende, Jubah dan Mendoakan Pemimpin Kita
Oleh : RD. Stefanus Wolo Itu
HARI Kamis, 5 Juni lalu para imam, biarawan/wati, utusan umat paroki, aktivis, aliansi, organisasi mahasiswa mendatangi gedung DPRD dan Kantor Bupati Ende, Nagekeo, Ngada dan Manggarai. Mereka membuat “Aksi Damai Menolak Geothermal Flores”.
Saya mendapat beberapa pertanyaan. Mengapa mereka membuat aksi? Apakah mereka anti pembangunan dan perubahan? Apakah mereka membenci pemerintah? Apakah mereka ingin menjadi oposisi pemerintah? Saya menjawab seadanya. Mereka memprotes kehadiran proyek geothermal di Flores! Mereka tidak anti pembangunan dan perubahan. Mereka bukan oposisi pemerintah. Gereja bukan partai politik sehingga disebut oposisi pemerintah. Mereka bagian dari masyarakat. Mengambil bagian dari pembangunan rohani. Tapi juga aktif dan terlibat dalam pemberdayaan sosial, ekonomi, pendidikan dll.
Ini negara demokratis. Siapapun boleh menyampaikan pendapatnya. Mereka boleh menyikapi dinamika pembangunan yang terjadi di wilayah kita. Mereka tidak melanggar undang-undang. Mereka menggelar aksi damai. Mereka tidak membenci pimpinan daerah dan wakil rakyat. Mereka tidak memusuhi siapapun!
Dalam urusan iman, Uskup dan para imam adalah gembala bagi seluruh umat katolik di wilayahnya. Termasuk pimpinan daerah dan wakil rakyat. Banyak dari mereka adalah orang tua, saudara, kerabat dekat para imam dan biarawan/wati.
Dalam urusan politik dan kesejahteraan, para pemimpin pemerintah dan DPR adalah juga gembala. Mereka pemimpin dan pengayom masyarakat. Kami juga rakyat yang turut membayar pajak untuk negara. Kami datang menyampaikan keprihatinan. Karena itu tidak perlu takut dan menghilang saat kami datang. Tidak perlu marah dan menyiapkan masa tandingan. Tidak perlu mengancam peserta aksi. Mereka tidak pernah takut. Justru tertawa lucu. Karena diancam oleh mereka yang hidup dari pajak rakyat.
Mereka menyampaikan tuntutan secara damai. Menjelang aksi damai, saya mengingatkan seorang rekan imam: ‘Jangan lupa membawa teks dan melantunkan doa damai Santo Fransiskus’. Doa dan aksi damai harus dilihat sebagai panggilan moral untuk melindungi bumi Flores. Siapapun merindukan kedamaian. Tidak hanya kedamaian dalam hati sendiri. Tapi juga di lingkungan tempat kita hidup. Bahkan damai di setiap sudut bumi.
Doa damai Santo Fransiskus sangat menyentuh. Mudah memasuki hati siapapun yang mendengar atau membaca. Cepat melekat di hati. Kata-katanya sederhana. Singkat dan tidak berbelit-belit. Padat dan bernas. Saya coba mengutip baris-baris pertama doa ini.
“Tuhan, jadikanlah aku pembawa damaiMu. Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan”.
Teks lengkapnya bisa lihat di om Google, buku-buku doa Fransiskan atau Madah Bakti 460.
Doa ini pernah dilantunkan para tokoh dunia. Pada hari pelantikannya sebagai Perdana Menteri Inggris tanggal 4 Mei 1979, Margareth Thatcher melantunkan doa damai Santo Fransiskus. Lima bulan kemudian, tanggal 17 Oktober 1979, ibu Theresa dari Kalkuta menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Saat pidato, ia hanya mengucapkan terima kasih tiga kali. Selanjutnya mengajak hadirin mendaraskan doa damai Fransiskus.
Begitupun penyair dan musisi Amerika Serikat, Patti Smith dalam lagu berjudul ‘Constantine’s Dream’. Ia menceriterakan mimpi dan visinya tentang Santo Fransiskus di Kota Arezzo Italia. Dan tak kalah menarik Presiden AS Bill Clinton membacakan doa ini tanggal 4 Oktober 1995 ketika menerima Paus Yohanes Paulus II menghadiri sidang umum PBB di New York.
Sifat khas aksi damai adalah tanpa kekerasan. Karena setiap tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Aksi damai membuka ruang dialog dan menghadirkan empati. Ada saling menerima dan terbuka menemukan jalan terbaik. Pemimpin spiritual dan politikus India, Mahatma Gandhi(1869-1948) mengatakan: ‘Aksi tanpa kekerasan merupakan kekuatan terbesar yang dimiliki umat manusia. Dia lebih kuat dari jembatan penghancur terdahsyat yang dibuat oleh kecerdasan manusia’.
Aksi damai sudah melewati proses panjang. Mereka turun ke lokasi, melihat kenyataan dan mendengarkan suara-suara korban, analisis sosial dan refleksi teologis. Komisi Kateketik menyiapkan materi katekese, pertemuan fasilitator dan katekese Kelompok Umat Basis (KUB). Katekese adalah cara khas gereja katolik dalam mewartakan dan mendalami iman.
Katekese juga membangun kesadaran kritis umat basis. Tentu mencakupi sejumlah aspek. Mulai dari cara berpikir kritis. Sebuah proses berpikir yang melibatkan analisis, evaluasi, interpretasi informasi, refleksi teologis dan sosio-pastoral.
Perlu sebuah keberanian dan kemampuan kritis untuk mengambil keputusan dan tindakan yang tepat.
“Berani berkata benar saat semua orang diam adalah bentuk tertinggi dari sebuah kecerdasan,” kata Uskup Anglikan Afrika Selatan, Desmond Tutu (1931-2021).
Saat aksi damai, para imam mengenakan jubah. Lagi-lagi ada yang bertanya kepada saya. “Romo, mengapa para pastor mengenakan jubah?” Saya menjawab: “Jubah itu pakaian rohani para imam. Jalan menuju penerimaan jubah itu panjang. Jubah melambangkan proses panggilan, tanggung jawab dan pengabdian. Jubah memiliki makna simbolis yang mendalam. Jubah adalah lambang ketaatan, kesederhanaan, kesetiaan, pengorbanan dan komitmen mereka untuk mengikuti teladan Kristus dan gereja-Nya”.
Ada yang berkomentar: “Jubah itu mestinya hanya digunakan di gereja. Saat merayakan korban ekaristi di altar. Kelompok lain bisa menertawakan kita. Kasihan sekali!” Saya menjawabnya: “Para imam melayani Tuhan dan umat beriman. Pelayanan imamat tidak hanya sekitar altar ekaristi dan mimbar sabda. Mereka juga melayani altar dan mimbar kehidupan harian”.
“Para imam menerima cemoohan, kritikan, hujatan dan caci maki. Tapi mereka tidak merasa malu. Mereka justru bersyukur. Siapapun yang membenci, termasuk akun- akun palsu sedang memuliakan para imam. Mereka merelakan jubahnya kotor demi memperjuangkan sebuah nilai. Saya bertemu dengan banyak imam dari pelbagai belahan dunia. Mereka berkisah, bila ada situasi penindasan justru imam katolik yang berjuang bersama kaum tertindas. Mengapa? Karena mereka punya otak, hati, hidup apa adanya dan bebas kepentingan”.
“Jubah imam lebih dari sekedar pakaian biasa. Jubah melambangkan identitas rohani imam sehingga mudah dikenal umatnya. Ketika berada di tengah ribuan orang, umat mengetahui keadaan gembalanya. Mereka berdiri bersama dan membentengi diri dari serigala-serigala susupan”.
Ada yang menulis: “Mengapa Bapak Uskup, para pastor, biarawan/wati, umat, aliansi dan aktivis lingkungan hidup menolak kehadiran listrik di Flores? Apakah mereka tidak membutuhkan listrik?”. Mereka tidak menolak kehadiran listrik di Flores! Kita semua membutuhkan listrik! Mereka menolak energi listrik yang berasal dari geothermal. Geothermal bukan satu-satunya sumber energi terbarukan di Flores!
Ada banyak pilihan sumber energi terbarukan yang bisa dibangun di Flores. Misalnya tenaga surya, angin, air dan biomasa. Biomasa merupakan bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik berupa produk atau buangan, seperti tumbuhan, kotoran dan limbah pertanian. Juga energi yang berasal dari laut seperti energi pasang surut air laut, energi gelombang laut dan energi arus laut.
Sudah hampir 12 tahun, saya tinggal di Eropa. Setahun di Jerman dan sebelas tahun di Swiss. Saya membaca, berjalan, melihat, bertemu dan menanyakan mereka yang bekerja di sektor-sektor energi. Manakah sumber energi terbesar di Swiss dan negara-negara sekelilingnya? Di Jerman tenaga angin sekitar 31,9%. Perancis tenaga nuklir 74,5%, hidrolistrik 16,3 % dan thermal 9,1 %. Italia menggunakan minyak bumi dan panas bumi. Austria menggunakan sekitar 60 % tenaga air. Swiss sendiri hampir 60 % tenaga air.
Satu pertanyaan kritis: “Mengapa pemerintah, PLN dan investor masih bersikeras membangun energi geothermal di Flores? Mulai dari Ulumbu, Pocoleok dan Waesano di Manggarai Raya. Di Ngada ada Mataloko, Doka-Radabata, Dona-Jerebu’u dan Inelika- Soa. Nagekeo ada rencana di Pajo Reja dan Marapokot. Di wilayah Ende Lio sudah ada PLTU Ropa dan PLTA Ndungga. Sekarang Sokoria sedang dibangun. Rencana lanjutannya di Jopu, Detusoko, Lesugolo dan Nangaba. Dan terakhir di Lerek Lembata.
Hampir semua tempat ini merupakan wilayah pertanian dan perkebunan andalan. Saya cemas! Kita dijanjikan energi hijau. Tapi bakalan kehilangan ‘emas-emas hijau’ yang sudah menghidupi kita. Lokasi-lokasi geothermal Flores berdekatan dengan potensi-potensi kekayaan alam seperti emas, uranium, biji besi dan pasir besi. Pertanyaan refleksif saya: “Mengapa harus geothermal?”
Saya mencurigainya sebagai gerbang masuk industri pertambangan. Ada agenda mewujudkan mimpi lama: “Mengeruk kekayaan perut bumi Flores”. Kita orang-orang Flores, NTT perlu membuka pikiran, mata, hati dan telinga. Mencegah sebelum terjadi! Kita perlu bersikap kritis dengan slogan “Demi proyek strategis nasional”. Ketika kita merayakan hari lingkungan hidup sedunia, terkuak masalah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Saya tertarik penggalan kotbah Pentakosta Uskup Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA pada Minggu 8 Juni 2025.
“Pihak yang berjuang untuk mempertahankan alamnya, hutannya, budayanya itulah mereka yang dikuasai oleh Roh Kudus. Berani untuk terus bersuara tentang hak-hak hidupnya. Raja Ampat yang indah mulai hancur karena ketamakan dan kerakusan oligarki dan penguasa dengan slogan demi proyek strategis nasional. Ini roh dunia yang menghancurkan alam dan sesama. Kita mengikuti Roh Kristus, yang menghormati martabat dan hidup manusia”.
Kita mendoakan alam lingkungan hidup Flores. Kita mendoakan pemerintahan. Tapi lebih penting dari itu kita mendoakan para tokoh pemerintah dan wakil rakyat kita. Dalam doa kita menyebut nama presiden, para menteri, gubernur NTT dan anggota DPRD I, anggota DPR RI dan DPD asal NTT. Juga para Bupati dan DPRD, TNI/POLRI, camat, kepala desa, mosalaki, dusun, ketua RT dan orang-orang bayaran investor atau PLN untuk mengintimidasi masyarakat lokal.
Hari Minggu 1 Juni 2025, saya berkotbah tentang doa Yesus. Yesus berdoa untuk dunia. Dan lebih dari itu Yesus berdoa untuk manusia. Untuk semua yang percaya pada-Nya. Saya mengutip kata-kata Albert Schweitzer, teolog Lutheran, Filsuf dan Musikus Jerman (1875-1965). Albert menulis: “Die Gebete verändern nicht die Welt. Die Gebete verändern die Menschen. Und die Menschen verändern die Welt. Artinya doa-doa tidak mengubah dunia. Doa-doa mengubah manusia. Manusia yang kita doakan itulah yang mengubah dunia”. Mari kita menyebut nama para pemimpin kita dalam doa ekaristi. Semoga mereka bijaksana dan mampu mengubah dunia menjadi lebih baik dan bermartabat. **
Kirchgasse 4, 5074 Eiken AG Schweiz
Minggu Malam, 8 Juni 2025.