Apa yang salah? Jawabannya sederhana. Ketertutupan dan ketidakjujuran.

Dari Air ke Nalar: Bangun Kesadaran Publik

Rakyat Mimika kini perlu bergerak dari sekadar penerima proyek ke pemilik kedaulatan fiskal. Dana APBD yang triliunan setiap tahun itu bukan milik elite birokrasi, bukan milik kontraktor, bukan juga milik pejabat yang bikin proyek dari balik meja. Itu milik rakyat. Maka rakyat harus mulai bertanya. Siapa kontraktornya?, Kemajuan proyeknya sudah berapa persen?, Apa saja komponen yang dibangun?, Kenapa anggaran besar tapi air terasa payau, dan bahkan tidak sampai ke rumah? Ini bukan urusan teknis belaka. Ini soal keadilan anggaran dan keseriusan pembangunan.

DPRK, Jangan Hanya Bicara: Bongkar!

Publik pasti sambut pernyataan Ketua DPRK Mimika dengan suka cita dan penuh harap. Tapi tidak berhenti di situ. Opini kecil ini mau mengingatkan publik sebagai pemilik asali proyek air bersih itu untuk mengimplementasikan tanggung jawab moral dan sosial meminta kontinuitas pengawasan legislatif. Fungsi pengawasan bukan pidato, tapi kerja konkret.

Bagaimana konkritnya?

1. Buka data proyek ke publik.

2. Libatkan gereja, masjid, dan tokoh adat dalam audit sosial.

3. Gunakan media lokal sebagai mitra pemantauan. Dan bila perlu, bentuk panitia khusus (Pansus DPRK) untuk menyelidiki proyek air bersih yang menelan belasan miliar tapi hasilnya air masih payau.

Jangan Lagi Air Menjadi Alat Cuci Dosa Anggaran

Air mestinya hadir untuk hidup. Tapi dalam potret ini, ia seperti jadi alat untuk mencuci dosa birokrasi. Digelontorkan dalam dokumen, tapi menghilang dalam kenyataan. Pernyataan Ketua DPRK Mimika jadi suluh pemantik kesadaran kolektif dan tanggung jawab moral sosial publik untuk terus mengawal. Air bersih mengalir ke rumah rakyat, bukan ke sembarang saku dan tempat. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)