Air Payau, Tapi Anggaran Menghilang
Oleh : Laurens Minipko
Primus Natikapereyau, Ketua DPRK Mimika akhirnya angkat suara. Proyek air bersih di wilayah pesisir Mimika, dengan nilai anggaran mencapai Rp17 miliar per unit, dinilai belum tuntas dan mesti dikawal secara ketat.
Ketua DPRK menyebut ini sebagai bagian dari fungsi pengawasan legislatif. Baik! Tapi publik tidak cukup hanya disuguhi pengakuan. Publik kini menuntut pembuktian dan keterbukaan.
Wilayah pesisir Mimika seperti Hiripau, Atuka, Tipuka, Poumako sampai kampung-kampung lainnya yang membentang dari Barat ke Timur telah bertahun-tahun hidup dalam kekurangan air bersih. Di banyak tempat, air asin dan air keruh jadi satu-satunya pilihan. Lalu muncul proyek, muncul anggaran jumbo, muncul papan proyek. Tapi air tidak juga sebening hati rakyat di kampung-kampung itu.
Anggaran sebesar Rp 17 miliar untuk satu unit proyek air bersih adalah angka yang sangat besar. Dengan nilai sebesar itu, mestinya publik bicara tentang sistem lengkap:
1. Bukti identifikasi dan persiapan sumber air (Survei geolistrik dan hidrogeologi, deep well standar minimal, struktur pelindung sumur, perlindungan zona sanitasi dari pencemaran standar minimal)
2. Instalasi pompa dan sistem tenaga (pompa dan solar panel)
3. Unit pengolahan Air /WTP (tangki penampung, sistem penyaringan, disinfeksi, menara air)
4. Jaringan distribusi ke rumah dan kampung (perpipaan, sambungan rumah tangga)
5. Fasilitas penunjang, distribusi rumah tangga dan layanan pemeliharaan (rumah operator+gudang, pelatihan operator lokal, biaya transportasi, konsultan teknis, dan kontigensi)
Tapi fakta di lapangan (hasil pengamatan Ketua DPRK Mimika) masih menggambarkan ketimpangan. Air payau, dan masayarakat kembali ke kali dan air hujan.
Apa yang salah? Jawabannya sederhana. Ketertutupan dan ketidakjujuran.
Dari Air ke Nalar: Bangun Kesadaran Publik
Rakyat Mimika kini perlu bergerak dari sekadar penerima proyek ke pemilik kedaulatan fiskal. Dana APBD yang triliunan setiap tahun itu bukan milik elite birokrasi, bukan milik kontraktor, bukan juga milik pejabat yang bikin proyek dari balik meja. Itu milik rakyat. Maka rakyat harus mulai bertanya. Siapa kontraktornya?, Kemajuan proyeknya sudah berapa persen?, Apa saja komponen yang dibangun?, Kenapa anggaran besar tapi air terasa payau, dan bahkan tidak sampai ke rumah? Ini bukan urusan teknis belaka. Ini soal keadilan anggaran dan keseriusan pembangunan.
DPRK, Jangan Hanya Bicara: Bongkar!
Publik pasti sambut pernyataan Ketua DPRK Mimika dengan suka cita dan penuh harap. Tapi tidak berhenti di situ. Opini kecil ini mau mengingatkan publik sebagai pemilik asali proyek air bersih itu untuk mengimplementasikan tanggung jawab moral dan sosial meminta kontinuitas pengawasan legislatif. Fungsi pengawasan bukan pidato, tapi kerja konkret.
Bagaimana konkritnya?
1. Buka data proyek ke publik.
2. Libatkan gereja, masjid, dan tokoh adat dalam audit sosial.
3. Gunakan media lokal sebagai mitra pemantauan. Dan bila perlu, bentuk panitia khusus (Pansus DPRK) untuk menyelidiki proyek air bersih yang menelan belasan miliar tapi hasilnya air masih payau.
Jangan Lagi Air Menjadi Alat Cuci Dosa Anggaran
Air mestinya hadir untuk hidup. Tapi dalam potret ini, ia seperti jadi alat untuk mencuci dosa birokrasi. Digelontorkan dalam dokumen, tapi menghilang dalam kenyataan. Pernyataan Ketua DPRK Mimika jadi suluh pemantik kesadaran kolektif dan tanggung jawab moral sosial publik untuk terus mengawal. Air bersih mengalir ke rumah rakyat, bukan ke sembarang saku dan tempat. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)