Kamoro di Jantung Administrasi Mimika
PERISTIWA administratif itu menyimpan jejak sejarah perubahan (momen historis). Untuk pertama kalinya, seorang putra asli Kamoro menduduki posisi strategis yang selama ini jarang disentuh oleh figur dari komunitas pemilik Tapare Mimika. Peristiwa ini menyimpan lapisan makna yang kaya: kultural, sosiologis, psikologis dan filosofis.
Di tengah suasana penuh khidmat, Bupati Mimika John Rettob resmi melantik Abraham Kateyau, S.E., M.H (selanjutnya disingkat: AK) sebagai Penjabat Sekretaris Daerah (Jumat, 15 Agustus 2025). Bagi banyak orang, peristiwa ini dimaknai sebagai bagian dari rotasi birokrasi. Namun, bagi masyarakat Kamoro, pemangku asali Tapare Mimika, momen itu ibarat denyut baru dalam sejarah Mimika: untuk pertama kalinya putra Kamoro menduduki kursi “jantung administrasi” daerah. Ia bukan hanya pejabat terknokratis, melainkan simbol hidup pengakuan dan kebanggaan kultural.
Dalam konteks Papua, juga dalam ruang kultural Mimika, jabatan publik tidak pernah lepas dari simbol representasi. Seperti dikatakan Hanna Pitkin (1967) dalam The Concept of Representation, representasi bukan sekadar hadir secara fisik, melainkan juga menghadirkan suara, aspirasi, cita-cita, luka dan kepentingan kelompok yang diwakili (dialektika historis). Dengan demikian, kehadiran AK di kursi Sekda adalah juga kehadiran simbolis masyarakat Kamoro di jantung birokrasi Mimika.
Latar Sejarah dan Konteks Lokal
Suku Kamoro dikenal sebagai penduduk asli wilayah pesisir Mimika. Sejak masa kolonial hingga berdirinya Kabupaten Mimika, keterwakilan Kamoro dalam struktur pemerintahan kerap kali dipandang marginal. Orang Kamoro sering lebih menonjol dalam ranah budaya dan ritual, sementara ranah birokrasi dikuasai figur-figur dari luar (OAP dan non-OAP). Kondisi itu melahirkan kerinduan panjang: kapan putra Kamoro asli benar-benar hadir di inti pemerintahan, lebih dari wujud simbolik.
Dimensi simbolik
Pelantikan AK menjawab kerinduan itu. Figur ini membawa setidaknya empat lapis simbol penting:
- Legitimasi Kultural
AK, adalah pengakuan terhadap identitas Kamoro dalam birokrasi. Ia menegaskan bahwa jantung administrasi Mimika bukan hanya ruang teknokrasi, tetapi juga rumah bagi sejarah dan budaya Kamoro. Sejarah itu dari kodratnya lahir dari jantung administrasi pemerintahan. Ia menjadi rumah bagi sejarah dan budaya Kamoro.
- Jembatan Sosial-Politik
Dengan latar belakang Kamoro, AK berpotensi menjadi mediator antara aspirasi masyarakat adat dan dinamika birokrasi modern. Posisi Sekda yang mengkoordinasikan OPD dan TAPD memberi ruang baginya untuk membawa suara masyarakat ke ruang pengambilan keputusan. Di sini, pengelolaan dan pengadministrasian dana OTSUS bagi OAP di Mimika mendapat kekuatannya.
- Momentum Kebanggaan Lokal
Kehadiran AK di kursi Sekda menjadi penanda bahwa putra Kamoro sanggup mengelola birokrasi di level tertinggi administrasi pemerintahan. Ia adalah simbol kebangkitan generasi baru Kamoro yang berani dan mampu bersaing dalam tata kelola pemerintahan.
- Filsafat Simbol
Pelantikan AK dapat dibaca sebagai simbol pengakuan (Honneth, Tylor), namun simbol selalu mengandung kuasa (Foucault). Dalam dirinya terkandung dialektika: ia adalah simbol pengakuan identitas, tapi sekaligus juga “disiplin birokrasi yang akan membentuk karakter kepemimpinannya. Dalam perspektif filsafat ini, jabatan Sekda adalah “teks institusional “ yang selalu bisa ditafsir ulang. Di sini, identitas “Kamoro” mengandung makna tafsir yang kaya dan beragam.
Implikasi Praktis
Secara birokratis, Sekda adalah motor penggerak koordinasi antara perangkat daerah dan sekaligus Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Dalam posisi itu, AK memegang peranan vital: bagaimana program pembangunan keberpihakan dan afirmatif disusun, prioritas daerah ditentukan, hingga tata kelola keuangan dikawal. Kehadirannya memberi harapan baru bahwa aspirasi masyarakat Kamoro tidak lagi berputar di pinggiran, melainkan ikut mengalir di pusat alokasi anggaran dan kebijakan daerah, sumber denyut kehidupan sosial.
Tantangan dan Harapan
Meski penuh simbol dan harapan, jalan AK tidak mudah. Pertama, ia menghadapi tantangan birokrasi yang sarat warisan kepentingan politik. Kedua, ada risiko bahwa pelantikannya hanya dianggap tokenisme, sekadar “penghias” tanpa perubahan substantif. Risiko ini dimaknai sebagai tindakan simbolik tampak memberikan pengakuan atau keterwakilan, tetapi tanpa diikuti dengan perubahan nyata dalam struktur, kebijakan, maupun praktik pengelolaan administrasi pemerintahan sehari-hari (kebijakan yang inklusif, ruang partisipasi yang lebih luas, dan distribusi kuasa yang lebih adil).

































