Mimika Pecah, Siapa yang Diuntungkan?
Oleh : Laurens Minipko
Di balik nama, tersembunyi kuasa
PEMERINTAH Kabupaten Mimika mulai mengkaji pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan membagi wilayah menjadi Mimika Barat, Mimika Timur, dan Kota Madya Timika. Bagi sebagian kalangan birokrasi, ini adalah langkah rasional menuju pemerataan pembangunan, efektivitas pelayanan publik, dan percepatan roda ekonomi. Namun, langkah ini segera menuai penolakan keras dari Dewan Adat Daerah (DAD) Kamar Adat Pengusaha (KAP) Papua Mimika, Viscent Oniyoma.
Tokoh DAD ini menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip Otonomi Khusus Papua dan berpotensi menimbulkan konflik sosial jika dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat adat.
Apa yang sedang terjadi bukan semata kajian administratif. Ini adalah tindakan simbolik yang mencerminkan kuasa. Siapa yang berhak menamai DOB, siapa yang diabaikan dalam proses penamaan, dan untuk siapa ruang-ruang baru ini sebenarnya diciptakan?
Nomenklatur sebagai tindakan simbolik
Dalam kerangka hermeneutika Paul Ricoeur, kita diajak membaca bahwa “simbol memberi untuk dipikir (dans le symbole, la pensée se donne a penser )”, yang berarti bahwa simbol bukan hanya membentuk, tapi pintu masuk ke dalam dunia makna yang lebih dalam. Dalam konteks DOB di Mimika, kita bisa mengurasi penerapannya sebagai berikut. DOB seperti Mimika Barat, Mimika Timur, dan Kota Madya Timika bukan sekadar label geografis. Ia adalah simbol yang mengandung proyek kuasa. Siapa yang menamai, siapa yang dianggap berwenang menentukan struktur wilayah. DOB bukan hanya soal batas wilayah atau kebutuhan anggaran, tapi sebuah simbol yang memproduksi makna baru atas ruang hidup masyarakat. Ketika nama-nama baru seperti “Kota Madya Timika” diajukan tanpa partisipasi adat, kita sedang menyaksikan satu bentuk pengambilalihan tafsir atas tanah dan identitas.
Di sinilah Paul Ricoeur mengajak kita tidak berhenti pada nama DOB tersebut, tapi bertanya. Apa yang dikandung oleh nama itu? Siapa yang disingkirkan oleh nama itu. Maka ketika nama baru muncul tanpa partisipasi adat, ia bukan netral. Nama menjadi simbol dominasi wacana neghara atas narasi lokal.
Negara, melalui instrument teknokratis di tingkat daerah tidak hanya memetakan ulang ruang, tapi juga merekayasa struktur kuasa. Nomenklatur menjadi pisau ideologis yang tajam, menyayat relasi-relasi sosial lama dan menggantinya dengan sistem birokrasi yang belum tentu mengakar, dan apalagi bermanfaat.
Ketidakhadiran adat dan kekosongan legitimasi lokal
Penolakan dari DAD bukan semata emosi adat. Ia mencerminkan satu kebenaran struktural, yaitu bahwa tanah Mimika tidak pernah netral secara sosial dan politik. Ketika negara merancang pemekaran tanpa melibatkan masyarakat adat, ia sedang melanggengkan bentuk kekerasan epistemik (Gayatri Chakravorty Spivak: pemikir pascakolonial). Spivak mendefinisikan kata tersebut sebagai upaya penghapusan, penyingkiran, atau pengabaian pengetahuan, cara berpikir, atau suara kelompok yang termarginalkan dalam produksi wacana resmi atau dominan. Dalam istilah Fanon, ini adalah invisible violence”- kekerasan yang tidak terlihat tapi berdampak dalam.
Pemekaran tanpa musyawarah adat adalah pengabaian atas sejarah, hak ulayat, dan legitimasi kultural yang selama ini menopang struktur sosial Mimika. Ia menyingkirkan adat dari ruang pengambilan keputusan, seolah masyarakat adat hanyalah kerikil yang bisa dipinggirkan dari jalan pembangunan.
Konflik sosial mengintai
Sejarah Papua memberi pelajaran bahwa pemekaran sering kali diikuti ketegangan. Apakah ini akan mengulangi pola lama? Konflik wilayah adat, perebutan jabatan, sengketa akses dana Otsus, hingga pemaksaan batas administratif di atas tanah suci berisiko meretakkan kohesi sosial.
Vinsent Oniyoma benar saat menyatakan bahwa DOB bisa menciptakan konflik sosial jika prinsip partisipasi masyarakat adat dilanggar. Bukankah keadilan sejati hanya tentang pembangunan yang cepat, tetapi juga yang melibatkan dan menghormati substansi kultural setempat?
Siapa yang diuntungkan?
Mari bertanya lebih jujur. Siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan dari pemekaran ini? Masyarakat adat, atau elite birokrat dan politisi yang melihat potensi kursi baru, APBD tambahan, dan proyek-proyek bernilai miliaran? Apakah ini demi rakyat atau demi perut kekuasaan?
Dalam kerangka David Harvey, proses ini dapat dibaca sebagai bentuk baru dari accumulation by dispossession- perampasan ruang kultural demi akumulasi politik dan ekonomi oleh segelintir elite.
Menuju Jalan tengah atau jurang baru?
Pemekaran bisa menjadi jalan menuju perubahan, tetapi harus dibangun di atas pondasi dialog yang setara. Adat bukan penghalang pembangunan. Ia adalah fondasi sosial yang menjaga keseimbangan. Jika DOB Mimika dipaksakan tanpa menghormati partisipasi masyarakat adat, maka pembangunan tidak akan membangun. Ia justru akan menggali jurang pemisah.
Kini saatnya bertanya bukan hanya soal berapa wilayah baru yang bisa dibentuk, tapi. Siapa yang didengar, siapa yang hilang, dan untuk siapa tanah ini dipecah? ** {isi tulisan tanggung jawab penulis}