Tubuh, Simbol, dan Rezim Representasi: Membaca Miss Indonesia dari FIlsafat Simbol
Oleh : Laurens Minipko
MISS Indonesia bukan sekadar ajang pemilihan perempuan cantik, cerdas dan berbudaya. Ia adalah panggung simbolik, tempat negara – bangsa Indonesia mewakilkan dirinya melalui tubuh perempuan. Sejak awal, setiap peserta Miss Indonesia tidak hanya mengenakan gaun malam, tapi juga selempang identitas yang menyiratkan lebih dari nama provinsi: Aceh, Bali, Kalimantan Timur, Papua, Papua Pegunungan, dst. Nama-nama ini tidak netral. Sekali lagi, nama-nama itu tidak netral. Di sana medan tafsir bagi filsafat simbol. Ia adalah simbol dari satu konstruksi nasional yang dipertunjukkan.
Filsuf Paul Ricoeur pernah menulis. “Simbol memberi untuk dipikirkan lebih dari apa yang dapat dikatakan langsung.” Simbol bukanlah bahasa datar dan netral. Ia menyimpan makna ganda, bahkan konflik. Di sinilah letak persoalan mendalam dari Miss Indoensia, ia membungkus keragaman dalam simbol, namun menyaring tafsir yang boleh muncul ke permukaan.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kabar pemulangan seorang peserta Miss Indonesia asal Papua Pegunungan. Marince Kogoya (Finalis Miss Indonesia-Papua Pegunungan), karena terbukti mengibarkan bendera Israel. Isu ini seketika jadi nasional. Namun sedikit orang yang menyentuh akar masalahnya. Mengapa simbol politik, dalam hal ini bendera, dianggap cukup kuat untuk membatalkan representasi satu provinsi? Dan lebih jauh lagi, apa yang sebenarnya sedang dikonstruksi dan dikendalikan dalam panggung Miss Indonesia?
Tubuh Perempuan sebagai Teks Simbolik
Dalam Miss Indonesia, tubuh perempuan menjadi media representasi nasional. Ia disiapkan untuk tampil sebagai “citra ideal perempuan Indonesia”. cantik, cerdas, ramah, anggun, berkarakter, dan tentu saja berbudaya. Namun, seperti kata Judith Butler, tubuh bukanlah sesuatu yang netral. Ia dibentuk dan diproduksi oleh norma, oleh repetisi gerak, bahasa, dan estetika, pendidikan, lingkungan.
Seorang perempuan Papua yang berdiri di atas panggung dengan selempang bertuliskan Papua atau bagian lain Papua DOB bukan sedang tampil sebagai dirinya sendiri. Ia sedang memerankan satu versi Papua yang telah diterima dan disahkan oleh panitia, oleh media dan oleh negara.
Namun tubuh itu bisa juga menyimpang. Ia bisa membawa simbol yang tidak terduga, menyampaikan pesan yang mengganggu. Saat sang peserta mengibarkan bendera Israel (dua tahun lalu), apapun motivasi personal atau latarnya, ia secara otomatis dianggap keluar dari teks nasionalisme yang telah ditulis untuknya yang sejatinya ditampilkan dalam panggung budaya itu. Maka pemulangan terjadi. Tubuh itu, yang semula diundang untuk mewakili Indonesia, kini dianggap mencemari makna simbol kontes.
Simbol, Kekuasaaan, dan Penyaringan Tafsir
Filsafat simbol mengajarkan bahwa setiap simbol memiliki medan tafsir. Tapi negara, melalui institusi budaya seperti Miss Indonesia, seringkali menyaring makna yang dianggap “aman”. Miss Indonesia menjanjikan keberagaman. Tafsiran itu tidak bermasalah. Menjadi masalah filsafat ketika keberagaman itu harus dijinakkan, harus dapat dipoles, harus tidak politis.
Papua diundang tampil di panggung, tapi tidak diundang bicara soal luka kolonialisme dalam negeri. Perempuan Papua diundang mengenakan gaun modern, tapi tidak diundang menafsirka kemerdekaan. Dalam kerangka ini, “Miss indonesia menjadi semacam “museum simbolik, di mana semua identitas harus dipamerkan, tapi tidak boleh bergerak liar.
Simbol Papua boleh hadir sejauh ia tidak mengguncang narasi besar kebangsaan. Dan ini bukan hanya terjadi pada Papua. Ini adalah gejala umum dari proyek representasi nasional yang ingin tampak inklusif, namun tetap terpusat pada satu tafsiran dominan. Pusat-sentris, dan netral secara politik.
Menuju Kritik Representasi yang Adil. Kita tidak menolak Miss Indonesia. Tapi kita perlu bertanya:
• Apakah kontes ini memberi ruang untuk tafsir alternatif dari tiap provinsi?
• Ataukah ia hanya mengemas keragaman dalam bungkus simbolik yang steril?
• Jika seorang perempuan Papua dikembalikan karena simbol politik, mengapa negara tidak pernah merasa perlu mengembalikan simbol kekerasan struktural yang terus berulang di wilayah ini?
Ini Bukan Soal Bendera
Ketika simbol disaring, ketika tubuh dikontrol, ketika perempuan Papua dibungkam, maka Miss Indonesia bukan lagi ajang kecantikan. Ia telah berubah menjadi reproduksi kuasa simbolik yang membatasi makna perempuan, membatasi makna Papua, dan membatasi makna kebangsaan.
Ini bukan soal bendera, tapi soal siapa yang berhak menafsir Indonesia dalam panggung budaya bernama Miss Indonesia. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)