Timika,papuaglobalnews.com – Tim Surveyor Lembaga Penyelenggara Akreditasi Lembaga Pelayanan Kesehatan Paripurna (LPA-LPK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melakukan survey perdana akreditasi terhadap Puskesmas  Mapar dan Amar.

Survey selama tiga hari, terhitung Senin 13-Rabu 15 Oktober 2025 berlangsung di salah satu hotel di Timika.

Tim Surveyor Puskesmas Mapar Distrik Mimika Barat Tengah diketuai dr. Rohati dan Linus selaku anggota. Puskesmas Amar diketuai Enos Matira dan dr. Hadina selaku anggota.

”SADAR

Pelaksanaan survey ini ditandai dengan penyerahan surat pernyataan komitmen oleh Mickael Nehemianusi, Kepala Puskesmas Mapar kepada Linus selaku anggota dan Oksilia Takati, Kepala Puskesmas Amar kepada dr. Rohati selaku ketua tim.

Puskesmas Amar akan dinilai oleh Enos Matira dan dr. Hadina dan Puskesmas Mapar dinilai oleh dr. Hadina dan Linus.

Reynold Rizal Ubra, Kepala Dinas Kesehatan dalam sambutan menyampaikan Mapar dan Amar merupakan dua dari 11 Puskesmas wilayah pesisir yang mengikuti akreditasi. Kedua puskesmas ini dengan letak geografis pelayanan sulit dan luas dengan penduduknya masyarakat asli Papua.

Reynold menjelaskan, kampung-kampung pesisir letak ketinggian dengan permukaan air laut hanya satu meter, sehingga sering terjadi pasang. Dulu fenomena alam ini hanya terjadi setahun sekali namun sekarang terjadi perubahan, dua kali setahun.

Puskesmas Amar dimekarkan pada tahun 2006/2007 dengan  Pustu di Ipaya. Pada tahun 2021 status Pustu Ipaya dinaikan menjadi Puskesmas. Keduanya, sebelum berdiri sendiri bergabung dengan induknya Puskesmas Kokonao.

Ia mengemukakan, pemekaran kedua Puskesmas ini selain alasan adanya pemekaran distrik atau pembagian wilayah juga melihat tantangan medan yang sulit dialami petugas dan mempertimbangkan faktor keselamatan petugas maupun masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan yang harus melewati laut dengan tinggi gelombang 2-3 meter.

Diharapkan dengan kehadiran dua puskesmas, Amar dan Mapar bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat agar tidak ada satupun masyarakat yang terlewatkan mendapatkan layanan kesehatan dasar.

Reynold menyampaikan tahun 70-90 an petugas kesehatan yang mendapat penempatan di wilayah pedalaman disebut tenaga buangan. Namun masuk di era keterbukaan informasi sekarang, tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil (pesisir dan gunung) perlu mendapat apresiasi sebagai petugas yang harus dihargai. Karena mereka telah merelakan dirinya bertugas melayani masyarakat di daerah tersulit dengan menghadapi tantangan sangat berat. Selain perlu dihargai juga bagian dari komitmen menjalankan amanah sesuai sumpah janji sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di hadapan Tuhan.