Oleh : Laurens Minipko {Isi tulisan tanggung jawab penulis}

PENULIS mau mengajak para pembaca budiman untuk berselancar mengarungi samudera sejarah jauh ke belakang sampai ke titik jantung Kota Roma di abad ke-7 sebelum Masehi, persis di Forum Romanum. Di antara bayang-bayang patung dan reruntuhan Forum Romanum ada kisah pengkhianatan paling  ikonik dalam sejarah politik dunia: Brutus dan Julius Caesar.

Apa itu Forum Romanum? Sebutan lainnya adalah Roman Forum. Ia adalah pusat kehidupan politik, sosial, hukum, dan keagamaan kekaisaran Romawi (abad ke-7 SM). Dari sisi arsitektur, pusat sejarah politik Barat itu terdiri dari Curia Julia (Gedung Senat), Rostra (mimbar pidato tempat Cicero dan Kaisar berorasi); Temple of Saturn, Temple of Vesta, Temple of Caessar (Kuil yang jadi simbol ikatan antara kekuasaan dan dewa), Arch of Septimius Severus dan  Titus (Gerbang kemenangan, simbol kejayaan militer).

”MTQ

Ia dikenal orang sebagai jantungnya Roma Kuno. Megah (materialistik) dan bergelimang intrik politik kaum terpelajar, bangsawan, kaisar dan para kroninya. Di tempat itu kita bayangkan  para senator berkumpul dan berdebat; kaisar berpidato atau mengumumkan keputusan; pengadilan digelar, arak-arakan militer lewat rakyat menyaksikan eksekusi atau perayaan. Potret itu terjadi persis di jantung Kota Roma, di antara Bukit Palatine (tempat tinggal elit) dan Bukit Capitolina (pusat keagamaan dan benteng).

Forum Romanum itu bukan sekedar tempat ramai, tapi panggung kekuasaan, bisa juga disebut awal mula negara Romawi. Para elit politik Romawi, termasuk Julius Caesar, Brutus, Cicero, Augustus dan semua kaisar Romawi pernah “bermain/berpolitik/bermanuver” di sana, entah membangun kuil, menyampaikan retorika (kampanye), atau menjatuhkan lawan politik, dll. Para politisi elit perdana dan rakyat jelata Kota Roma meyakini bahwa tempat dimana Caesar dibunuh atas manuver Brutus lokusnya di gedung senat itu. Tempat itu simbol kuat bahwa pembunuhan Sang Kaisar terjadi di JANTUNG KEKUASAAN, bukan di ruang tersembunyi. Imperium Forum Romanum  akhirnya runtuh (476 M).

Ia runtuh perlahan-lahan, seiring runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, kemunduran sistem kota, dan pergeseran pusat kekuasaan dan keagamaan

Manuver Berani di Atas Fondasi Etik

Brutus aktor utama kematian Caesar. Bagaimana manuver yang ia ragakan? Nama lengkapnya Marcus Junius Brutus (85 SM – 42 SM). Ibunya bernama Servila (dari keluarga bangsawan), sementara ayahnya?? Kisah kuno menyebutkan bahwa kelahiran Brutus adalah hasil perselingkuhan Servila dan Caesar. Oleh karena itu Brutus bukan tokoh sembarangan. Pada usia produktifnya ia dikenal sebagai seorang intelektual, senator, filsuf Stoik, dan patriot Republik Romawi. Ketika Caesar menobatkan dirinya sebagai diktator seumur hidup, Brutus dan sekelompok senator merasa Republik berada di ujung tanduk.

Cassius (saudaranya) meyakinkan ‘Brutus bahwa Caesar akan menjadi tiran, dan republik ini akan hancur. Bahwa Brutus  satu-satunya penyelamat republik  ini’.  Manuver Cassius berhasil mencuri hati Brutus. Dalam versi Shakespeare, Brutus mengungkapkan isi hatinya : ‘Not that I loved Caesar less, but that I loved Rome more’.

Brutus mengambil alih komando manuver. Maka disusunlah rencana: pembunuhan hanya pada Caesar, tepat di jantung kekuasaan yaitu Gedung Senat (publik), pada 15 Maret 44 SM (hari rapat senat). Brutus menunjuk Servilus Cassca sebagai eksekutor utama (Brutus ingin cuci tangan). Hari itu Caesar diundang ke sidang senat di Teater Pompey, tempat yang justru didirikan oleh musuh politiknya. Brutus dan para senator menyambut Caesar dengan biasa, lalu mengelilinginya secara bertahap, pura-pura ingin menyampaikan petisi. Lalu, Servilius Cassca jadi penikam pertama. Ia mulai menghunus pisau dari tembaga.  Menyusul Brutus pun menikam Caesar. Sebelum ajal menjemput, Caesar berujar: “Et tu, Brute? (Bahkan kamu, Brutus?). Lalu Caesar pun rubuh di bawah patung Pompey.

Pompey adalah simbol paling ironis dari manuver dan pembalasan politik (perselingkuhan). Manuver yang dibangun Brutus dan teman-temannya memiliki makna istimewah. Tanda legitimasi etik pada kudeta. Kudeta yang dirancang di atas etika penyelamatan (keselamatan republik). Manuver ini juga mengandung nilai estetika dan simbolik. Brutus menata sedemikian rupa agar konspirasi yang bangun memiliki citra yang abadi yaitu dikenang sebagai pahlawan, bukan pembunuh.

Manuver dalam Studi Moderen

Dalam ruang publik modern dan studi atasnya, istilah manuver (latin: manu operari: bekerja dengan tangan untuk mengambil posisi unggul) kerap muncul sebagai sinonim dari strategi licin, pergeseran arah, atau upaya mempengaruhi, merebut kembali dan mempertahankan panggung kekuasaan. Namun dalam kaca mata ilmu sosial, ekonomi dan politik moderen, manuver  adalah konsep kompleks yang menyentuh struktur kekuasaan, modal sosial, serta narasi ideologis yang membentuk ruang publik (person dalam relasi sosial).

Ia tidak berdiri sendiri sebagai siasat, melainkan bagian dari pertarungan makna dan dominasi.

Kajian oleh para ilmuwan filsafat, politik, ekonomi telah banyak memberi perhatian pada konsep manuver. Machievelli dalam The Princes, misalnya, membahas konsep manuver dalam bingkai kekuasaan. Ia berpendapat kekuasaan harus dikelola dengan kelicikan dan ketegasan.  Manuver menjadi instrument kekuasaan, bahkan jika harus menipu atau manakuti. Refleksi filosofis yang ia hasilkan dalam konteks ini adalah, ia menginstitusionalisasikan manuver sebagai kebutuhan realpolitik. Dalam gagasannya ini ia menekankan manuver sebagai seni mempertahankan kekuasaan di tengah ketidkpastian politik.

Antonio Gramschi (teori hegemoni) memperluas gagasan manuver ke dalam medan ideologis. Ia membedakan antar war of position (perang posisi) dan war of manuver (perang manuver). Bagi Gramsci, perang manuver adalah serangan langsung dan frontal terhadap kekuasaan yang berkuasa (revolusi adalah strategi unggulan). Ini manuver jangka pendek. Sementara perang posisi dikategorikan sebagai manuver jangka panjang yang dilakukan diranah budaya dan intelektual. Dalam konteks politik kekinian, partai politik bisa menggunakan manuver untuk merespons dominasi kultural dengan membangun basis ideologis alternatif.

Anthony Giddens (Teori Strukturasi: Agen dan Struktur), dalam analisis sosiologis modern, menunjukkan bahwa kekuasaan di masyarakat modern tersebar dalam jaringan lembaga (negara, partai politik, dll), simbol (aktor/pimpinan, bahasa, kampanye), dan struktur sosial. Ia meyakini bahwa perubahan atau manuver untuk perubahan tidak bisa terjadi hanya lewat konfrontasi langsung karena sistem birokrasi  dan legitimasi sosial terlalu kompleks. Oleh karena itu, ia percaya bahwa struktur sosial dan budaya lebih kuat dari sekedar aksi heroik. Di sini hukum menduduki posisi terpenting. Keyakinan Giddens ini lahir dari tesis besarnya yaitu ‘kekuasaan bukan soal siapa yang memegang senjata, tetapi siapa yang menentukan norma’. Jadi, manuver sejatinya dalah tindakan aktor di dalam struktur (lembaga, hukum).

Paham Bourdieu tentang manuver lebih praktis. Ia melihat politik sebagai arena (field) yang dipenuhi aktor yang saling bersaing memperebutkan modal (simbolik, sosial, budaya, ekonomi). Di sana manuver dimaknai sebagai investasi simbolik  untuk menegaskan posisi dan memperkuat legitimasi.  Dalam penerapannya manuver menampakkan wajah dan bentuknya dalam rupa konsolidasi (pemanggilan kader, pernyataan ideologis); mobilisasai (pengumpulan dukungan menjelang pemilu); negosiasi (penundaan program untuk memaksa dialog); dan simbolik (kunjungan pimpinan partai, gestur, penyematan makna historis).

Manuver dari pedang ke habitus

Manuver bukan sekedar tindakan sesaat, tapi proses historis dan sosial yang kompleks. Kita belajar dari manuver pengkhianatan Brutus hingga manuver simbolik Bourdieu, tampak bahwa kuasa tidak hanya dimenangkan dengan pedang, tapi juga dengan wacana, simbol, dan habitus.

Potret manuver Brutus dalam tata kelola pemerintahan kekinian mewujud dalam praktek sikut menyikut, menjatuhkan kawan sendiri dengan dalih moral/etik atau penyelamatan daerah. Dalam perspektif Machievelli, manuver politik dalam ruang birokrasi mengemuka dalam bentuk bagi-bagi jabatan, manipulasi opini publik, hingga kooptasi elit lokal demi mempertahankan kekuasaan.  Kalau kita berdiri pada sudut pandang  Gramsci akan terlihat wajah manuver para elit lokal dalam format politik kebudayaan dan simbolik (ideologis): menggunakan narasi kearifan lokal, agama, hingga isu etnis untuk membangun hegemoni. Narasinya bukan menyerang langsung, tapi membentuk kesadaran seolah-olah tulus.

Giddens menantang kita untuk dengan kesadaran penuh mengarahkan perhatian pada manuver agensi/aktor dalam struktur, misalnya struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang mapan masih mungkin ditembus dengan manuver reflektif seperti  e-budgeting, layanan digital, reformasi ASN, dan seterusnya. Kalau Bourdieu membantu kita memahami mengapa para elit daerah mampu atau bisa langgeng berkuasa (misalnya dua periode atau lebih) karena mereka menguasai modal sosial (jaringan tokoh) modal  budaya (pendidikan, citra intelektual), modal simbolik (karisma, religiusitas), dan tentu modal ekonomi (uang kampanye dan suap). Mereka yang unggul adalah mereka yang paling luwes memainkan habitus sesuai konteks sosial politik setempat. **