Retorika Keterbukaan, Realitas yang Sarat Makna (Respons Atas Pernyataan Apolo Safanpo Gubernur Papua Selatan)
Keterbukaan dalam Papua: Empat Lapisan Tertutup
Hermeneutika Ricour (Suspicious of Meaning dan Distanciation dan Tindakan Simbolik) menuntun kita untuk menelisik lebih dalam dari tuturan retoris di atas: “…tertutup..”. Di sini Ricoeur tidak berhenti hanya pada tuturan, ia berjalan terus menukik kemakna tuturan. Penerapannya dapat dibaca sebagai berikut:
1. Tertutup dalam nomenklatur. Banyak dokumen APBD, RKA, atau DPA tidak tersedia untuk publik kampung, mama-mama di pasar, nelayan di laut, penjaring di sungai, pemuda di sudut kampung, dst. Bahkan mungkin DPRD sendiri kerap tidak dilibatkan penuh dalam penyusunan.
2. Tertutup dalam relasi adat-negara.
Masyarakat adat sulit menjangkau ruang birokrasi karena bahasanya telah dikunci oleh jargon teknokratis (wewenang, aplikasi, pertanggungjawaban).
3. Tertutup karena trauma. Banyak warga tidak percaya bahwa suara bisa mengubah apa pun. Tuturan publik tidak serta merta mengubah pola kebiasan relasi kuasa. Bicara hanya menghasilkan pengawasan, bukan perubahan.
4. Tertutup karena rasa malu dan takut. Pejabat lokal sering kali “terjepit” antara kuasa vertikal dan tuntutan komunitas adat, mereka menjadi juru tafsir ganda.
Usulan strategis: Mendorong Keterbukaan Progresif
Retorika tentang keterbukaan sering kali ditafsirkan oleh pendengar (pendemo, pembaca, penonton, pengkiritk) terbatas pada apa yang boleh ditampilkan, bukan pada apa yang perlu diungkapkan demi keadilan. Keterbukaan di Papua sejatinya akan bermakna ketika dimulai dari rakyat, bukan dari meja birokrasi. Dalam konteks ini, saran saya perlu dibangun keterbukaan progresif, yaitu keterbukaan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis dan partisipatif.
Keterbukaan progresif adalah keberanian menyusun ulang relasi antara rakyat dan negara (pemerintah daerah) dalam bentuk partisipasi yang otentik, misalnya:
1. Forum Rakyat Bulanan. Pemerintah DOB dan kabupaten wajib membuka forum tanya jawab rakyat di setiap distrik dan kampung secara terbuka dan disiarkan langsung.
2. Audit sosial partisipatif. Libatkan Lembaga Masyarakat Adat (MA), gereja, dewan masjid, mama-mama di pasar, dan pemuda dalam menyusun dan mengawasi anggaran prioritas, atau implementasi janji politik.
3. Publikasi APBD dalam bahasa lokal dan infografik. Jangan biarkan rakyat tersesat dalam istilah seperti “Silpa, DAK, BPK, Perkada.” Gunakan bahasa rakyat, bukan bahasa kuasa.
Keterbukaan bukan retorika pejabat. Ia adalah hak dasar rakyat. Dan di Papua, hak itu terlalu lama disegel oleh rasa takut, trauma sejarah, dan bahasa kekuasaan.
Keterbukaan bukan soal informasi terbuka, tapi siapa yang diberi ruang bicara tanpa takut. Di Papua, keterbukaan adalah keberanian mendengar suara yang tidak ingin didengar negara.
Pernyataan Apolo Safanpo bisa menjadi titik awal, jika ia benar-benar memihak rakyat. Kalau tidak, ia hanya akan jadi satu lagi kalimat kosong dalam “rapat panjang” yang tidak pernah selesai. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































