Oleh : Laurens Minipko

DALAM beberapa tahun terakhir, Papua menjadi pusat perhatian nasional tidak hanya karena dinamika politik dan konflik bersenjata, tetapi juga karena kompleksitas birokrasi dan transparansi dalam pemerintahan daerah, beriringan dengan menjamurnya DOB. Di Tengah sorotan tersebut, pernyataan Apolo Safanpo (Gubernur Papua Selatan), seorang tokoh penting dalam administrasi Papua, tertutur pernyataan: “Kita berada di era keterbukaan. Pejabat tak bisa berbohong,” yang muncul bukan hanya harapan-tapi juga ironi. Karena di Papua, transparansi bukan hanya soal data, tapi soal kuasa: siapa yang boleh bicara, siapa yang boleh diam.

Tuturan itu menjadi simbol wacana baru yang patut ditelaah lebih jauh. Apakah pernyataan ini mencerminkan kenyataan di lapangan? Ataukah hanya menjadi retorika sarat makna ketertutupan struktural di Papua pada umumnya, dan Papua Selatan pada khususnya.

”MTQ

Esai singkat ini hendak mengupas makna keterbukaan dari sudut pandang hermeneutika kritis Paul Ricoeur, membaca ulang ujaran Safanpo sebagai pintu masuk untuk menyikapi realitas kuasa dan narasi pembangunan di Papua.

Hermeneutika Keterbukaan: Siapa yang Terbuka untuk Siapa?

Pernyataan tentang keterbukaan sering kali disambut dengan antusiasme. Tapi dalam kerangka hermeneutika kritis, keterbukaan bukanlah sebuah titik terang, melainkan medan tafsir:

• Siapa yang terbuka?

• Kepada siapa?

• Dalam bahasa siapa?

• Dan untuk siapa?

• Apakah keterbukaan hanya berlaku di meja birokrasi?

• Apakah rakyat bisa mengakses informasi, atau hanya diberi narasi?

• Apakah pejabat dilarang berbohong, atau diminta menyusun kebohongan lebih rapi?

Ricoeur mengajarkan bahwa setiap makna selalu melalui proses tafsir ganda:

• Makna yang tampak (eksplisit), dan

• Makna yang tersembunyi atau ditekan oleh struktur sosial-politik (implisit).

Oleh karena itu, keterbukaan, dalam konteks ini, bukanlah sebuah nilai yang netral. Ia bisa menjadi strategi kekuasaaan ketika dikelola secara satu arah (monolog): Pejabat merasa sudah terbuka karena memberi laporan, arahan atau perintah, tetapi rakyat tidak merasa terbuka karena tidak bisa menanggapi, mengubah, atau mengakses bahasa dan data yang disajikan. Dengan kata lain, keterbukaan tanpa timbal balik sejatinya bukan keterbukaan, melainkan pengumuman sepihak.

Keterbukaan dalam Papua: Empat Lapisan Tertutup

Hermeneutika Ricour (Suspicious of Meaning dan Distanciation dan Tindakan Simbolik) menuntun kita untuk menelisik lebih dalam dari tuturan retoris di atas: “…tertutup..”. Di sini Ricoeur tidak berhenti hanya pada tuturan, ia berjalan terus menukik kemakna tuturan. Penerapannya dapat dibaca sebagai berikut:

1. Tertutup dalam nomenklatur. Banyak dokumen APBD, RKA, atau DPA tidak tersedia untuk publik kampung, mama-mama di pasar, nelayan di laut, penjaring di sungai, pemuda di sudut kampung, dst. Bahkan mungkin DPRD sendiri kerap tidak dilibatkan penuh dalam penyusunan.

2. Tertutup dalam relasi adat-negara.

Masyarakat adat sulit menjangkau ruang birokrasi karena bahasanya telah dikunci oleh jargon teknokratis (wewenang, aplikasi, pertanggungjawaban).

3. Tertutup karena trauma. Banyak warga tidak percaya bahwa suara bisa mengubah apa pun. Tuturan publik tidak serta merta mengubah pola kebiasan relasi kuasa. Bicara hanya menghasilkan pengawasan, bukan perubahan.

4. Tertutup karena rasa malu dan takut. Pejabat lokal sering kali “terjepit” antara kuasa vertikal dan tuntutan komunitas adat, mereka menjadi juru tafsir ganda.

Usulan strategis: Mendorong Keterbukaan Progresif

Retorika tentang keterbukaan sering kali ditafsirkan oleh pendengar (pendemo, pembaca, penonton, pengkiritk) terbatas pada apa yang boleh ditampilkan, bukan pada apa yang perlu diungkapkan demi keadilan. Keterbukaan di Papua sejatinya akan bermakna ketika dimulai dari rakyat, bukan dari meja birokrasi. Dalam konteks ini, saran saya perlu dibangun keterbukaan progresif, yaitu keterbukaan yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga politis dan partisipatif.

Keterbukaan progresif adalah keberanian menyusun ulang relasi antara rakyat dan negara (pemerintah daerah) dalam bentuk partisipasi yang otentik, misalnya:

1. Forum Rakyat Bulanan. Pemerintah DOB dan kabupaten wajib membuka forum tanya jawab rakyat di setiap distrik dan kampung secara terbuka dan disiarkan langsung.

2. Audit sosial partisipatif. Libatkan Lembaga Masyarakat Adat (MA), gereja, dewan masjid, mama-mama di pasar, dan pemuda dalam menyusun dan mengawasi anggaran prioritas, atau implementasi janji politik.

3. Publikasi APBD dalam bahasa lokal dan infografik. Jangan biarkan rakyat tersesat dalam istilah seperti “Silpa, DAK, BPK, Perkada.” Gunakan bahasa rakyat, bukan bahasa kuasa.

Keterbukaan bukan retorika pejabat. Ia adalah hak dasar rakyat. Dan di Papua, hak itu terlalu lama disegel oleh rasa takut, trauma sejarah, dan bahasa kekuasaan.

Keterbukaan bukan soal informasi terbuka, tapi siapa yang diberi ruang bicara tanpa takut. Di Papua, keterbukaan adalah keberanian mendengar suara yang tidak ingin didengar negara.

Pernyataan Apolo Safanpo bisa menjadi titik awal, jika ia benar-benar memihak rakyat. Kalau tidak, ia hanya akan jadi satu lagi kalimat kosong dalam “rapat panjang” yang tidak pernah selesai. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)