Putra Daerah atau Anak Sistem? (Menimbang Ulang Usulan Fraksi PKB Tentang Non OAP di Mimika)
Oleh: Laurens Minipko
DI TENGAH rapat dengar pendapat tentang LKPJ tahun 2024 antara Bupati Mimika dan DPRK pada malam 4 Juli 2025, yang mestinya mengupayakan kejelasan visi dan keberpihakan terhadap rakyat, justru muncul usulan yang mengguncang fondasi identitas kolektif masyarakat adat Papua. Seorang anggota DPRK dari Fraksi PKB mengusulkan agar warga Non Orang Asli Papua (Non OAP) yang lahir di Mimika diformulasikan sebagai “putra daerah.”
Sebuah pernyataan yang pada permukaan tampak inklusif, tetapi jika dikuliti lebih dalam, menyimpan bara kontradiksi politik dan ancaman simbolik terhadap keberadaan OAP sebagai subjek sah tanah ini.
Usulan ini bukan sekadar administratif. Ini adalah manuver politik identitas yang menggugat nalar kita berpikir ulang. Apa arti ‘putra daerah’? Siapa yang berhak menyandangnya? Dan apa akibatnya bagi struktur keadilan historis dan sosial di Mimika jika label itu dialihkan kepada siapa saja yang sekadar lahir di tanah ini, tanpa keterikatan geneologis atau peran sosial dalam komunitas adat?
Identitas sebagai modal simbolik
Piere Bourdieu mengajarkan kita bahwa simbol dan pengakuan adalah bentuk kekuasaan. Gelar “putra daerah” adalah modal simbolik yang membuka akses ke sumber daya negara: ASN, beasiswa, proyek pembangunan, dan jabatan publik. Jika gelar ini diberikan tanpa kejelasan batas, maka ia bukan lagi alat keadilan, tapi sarana penetrasi dominasi.
Apakah cukup sesorang lahir di Mimika untuk disebut putra daerah, sementara akar sejarah, luka peradaban, dan perjuangan tanah ini ditanggung oleh tubuh dan jiwa orang-orang yang disebut OAP?
Politik pengakuan yang menyamaratakan
Charle Taylor, dalam esainya tentang Politics of Recognition, menegaskan bahwa pengakuan terhadap kelompok terpinggirkan bukan berarti menyamaratakan semua perbedaan. Pengakuan mesti mengafirmasi distinctiveness-keunikan sosial, kultural, dan historis sebuah komunitas.

































