Penemuan Emas di Kali Wakia Memicuh Konflik Perebutan Lokasi: Hubungan Kekeluargaan Antara Suku Mee dan Kamoro Telah Tercabik
Oleh: Selpius Bobii (Aktivis HAM, Eks Tapol Papua, Koordinator JDRP2)
SUKU Mee dan Suku Kamoro di Kapiraya adalah dua suku tetangga yang telah lama hidup berdampingan. Kedua suku dari dahulu kala telah membangun hubungan kekeluargaan.
Kedua suku selalu saling mengunjungi dan saling berbagi. Kedua suku berburu bersama, memancing bersama, berkebun bersama, masak bersama, makan bersama.
Dari suku Mee membawa petatas (ubi), keladi, dan sayur pergi ke Pantai Selatan suku Kamoro. Dari suku Kamoro menyiapkan ikan laut, dan daging buaya. Lalu mereka masak dan makan bersama-sama. Selama berhari-hari suku Mee menginap di rumah suku Kamoro dan demikian pula sebaliknya.
Pada waktu suku Mee pulang kembali ke Kampung, mereka membawa daging ikan dan buaya yang sudah diasar (sudah dikeringkan); serta membawa pulang kulit bia sebagai alat pembayaran yang dalam tradisi budaya suku Mee.
Dari dahulu kala kedua suku (Mee dan Kamoro) hidup rukun dan damai; tak ada perang antar suku, tak ada konflik.
Kasus ini bermula tahun 2024, Kepala Kampung Wakia mengijinkan Perusahaan Zoomlion masuk menambang emas di Wakia di Kapiraya.
Penemuan emas di kali Wakia inilah yang memicuh terjadinya konflik perebutan lokasi. Suku Kamoro bersama suku lain masuk menambang emas di wilayah hak ulayat suku Mee, kemudian suku lain juga bergabung dengan suku Kamoro. Perebutan lokasi tambang inilah memicu konflik pada tahun 2024 hingga kini.
Suku lain yang bergabung dengan suku Kamoro untuk menyerang warga Kampung Mogodagi yang dihuni suku Mee.
Konflik ini sengaja diseting oleh kaki tangan Indonesia untuk mencapai target berikut ini, antara lain:
1. Untuk membangun Markas TNI dan Polri;
2. Merelokasi atau mengusir warga setempat;
3. Demi kepentingan merampok kayu dan eksploitasi tambang emas dalam skala kecil dan menengah di sepanjang kali Wakia;

































