Pembakaran Mahkota Burung Cenderawasih Bentuk Pelecehan Budaya dan Warisan Leluhur OAP
Timika,papuaglobalnews.com – Pembakaran asesoris mahkota burung cenderawasih opset dan mahkota burung cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua di Jayapura pada Selasa 21 Oktober 2025 yang viral di media sosial terus menuai kecaman dari kalangan masyarakat Papua.
Kali ini datang dari Vinsent Oniyoma, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) KabupatenMimika Papua Tengah.
Vinsen dalam rilisnya kepada papuaglobalnews.com, Rabu malam 22 Oktober 2025 menyatakan mengutuk keras atas tindakan pembakaran simbol identitas Orang Asli Papua (OAP) sebagai bentuk penghinaan, pelecehan terhadap budaya dan warisan leluhur masyarakat Papua di tujuh wilayah adat.
Vinsent menegaskan pembakaran dengan alasan pemusnahan merupakan pelanggaran serius terhadap norma budaya dan adat istiadat orang asli Papua.
“Mahkota itu seharusnya disimpan bukan dibakar. Kalau mau menertibkan, yang harus ditertibkan adalah orang yang menembak burungnya, bukan membakar hasil karya budaya itu,” tulis Vinsent.
Simbol Identitas dan Spiritualitas
Menurut Vinsent, Cenderawasih memiliki makna yang sangat dalam bagi masyarakat Papua. Burung yang dijuluki “burung surga” ini sering dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual, budaya, dan identitas. Keindahan bulunya yang mempesona digunakan dalam hiasan kepala, yang menunjukan status sosial dan spiritual seseorang.
Mahkota yang terbuat dari burung Cenderawasih maupun Kasuari merupakan simbol budaya asli orang Papua yang digunakan dalam acara penyambutan tamu terhormat maupun kegiatan adat lainnya.
Vinsent menilai pembakaran mahkota burung cenderawasih sebagai bentuk pelecehan serta penghinaan budaya yang tidak dapat dibenarkan serta diterima secara akal sehat.
“Kalau hanya minta maaf, semua orang bisa minta maaf. Tapi kalau sudah melanggar kebudayaan, tidak bisa selesai hanya dengan kata maaf,” tegasnya.
Atas kejadian yang melukai hati masyarakat Papua ini, Vinsent mendesak pihak BBKSDA Papua untuk memberikan klarifikasi yang transparan kepada masyarakat Papua.
Selain itu, ia mendesak Kapolda Papua dan Pangdam Cenderawasih untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan beberapa oknum anggota TNI-Polri dalam insiden tersebut.
Vinsent menolak keras klaim pihak BBKSDA Papua atau oleh siapapun yang setuju dengan pemusnahan tersebut dengan alasan sesuai aturan yang berlaku, yakni Permen LHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017, bahwa pemusnahan barang sitaan ini merupakan bagian dari kegiatan patroli dan pengawasan terpadu terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) illegal, karena telah ‘membuat sakit hati leluhur di negeri ini’.
Vinsent mengajukan pertanyaan kritis mengenai standar penanganan barang sitaan negara.
Ia mengungkapkan beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menyita uang triliunan rupiah. Uang triliunan itu mengapa tidak dibakar? Tetapi mahkota burung Cenderawasih yang merupakan warisan budaya justru harus dibakar. Barang sitaan tidak semua harus dimusnahkan dengan cara dibakar, apalagi karya budaya.
Vinsent mengajak seluruh pemangku kepentingan di Papua termasuk tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah daerah untuk bersama-sama menjaga kelestarian burung Cenderawasih, dengan tetap menghormati nilai-nilai budaya yang melekat pada simbol tersebut. **

























