“Smelter emas dan tembaga justru dibangun di Gresik, Jawa Timur, jauh dari lokasi tambang. Ini bukan hilirisasi, ini pemindahan nilai tambah dari Papua ke Jawa,” tegasnya.

Padahal lanjutnya, Papua memiliki status Otonomi Khusus.  Namun, kebijakan pembangunan industri pengolahan dan pemurnian tetap tidak berpihak pada daerah penghasil.

“Ini adalah bentuk nyata dari Jakarta sentrisme yang masih hidup dalam kebijakan pembangunan nasional,”  kritiknya.

”SADAR

Vinsent menyerukan kepada pemerintah pusat dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera membangun fasilitas smelter dan pengolahan tailing di Mimika. Hal ini bukan hanya soal keadilan ekonomi, tetapi juga soal keberlanjutan lingkungan dan sosial.

“Sudah saatnya mimpi kesejahteraan diwujudkan di tanah kami sendiri. Kami mendesak industrialisasi lokal untuk memutus biaya distribusi yang mahal, menyerap tenaga kerja lokal, dan membangun infrastruktur yang layak,” ujarnya.

Ia meyakini pembangunan smelter di Mimika akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi lokal, peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta penguatan kemandirian daerah. Selain itu, ketersediaan pasar baja murah, listrik, jalan, dan perdagangan saham berbasis emas akan menjadi katalisator bagi transformasi Mimika menjadi kota modern dan sejahtera.

“Papua tidak butuh janji lagi. Kami butuh aksi nyata. Kami butuh keadilan. Kami butuh pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan pada pemodal,” katanya.

Dikatakan, Dewan Adat Daerah Papua Tengah akan terus mengkawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, serta memastikan bahwa kekayaan alam Papua dikelola untuk kesejahteraan rakyat Papua, bukan untuk memperkaya segelintir elite (oligarki).

“Seruan ini bukan sekadar kritik, tetapi panggilan moral untuk membangun Indonesia yang adil dan setara dari Timur menuju Indonesia emas 45 serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Vinsent. **