Papua Kaya Emas Tapi Masyarakat Mandi Limbah: Seruan Keadilan Hilirisasi dari Tanah Amungsa
Timika,papuaglobalnews.com – Vinsent Oniyoma, Ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Kamar Adat Pengusaha (KAP) Papua Kabupaten Mimika Papua Tengah merasa prihatin yang mendalam atas ketimpangan struktural yang terus berlangsung di wilayah penghasil tambang emas dan tembaga terbesar kedua di dunia di Kabupaten Mimika. Adanya ketimpangan sosial ini menjaga bukti kegagalan implementasi kebijakan hilirisasi nasional yang semestinya menjadi jalan keluar dari ketimpangan ekonomi, namun justru memperdalam jurang ketidakadilan antara pusat dan daerah.
“Dunia tahu bahwa tambang emas dan tembaga terbesar kedua di dunia ada di Papua Tengah. Tapi ironisnya, kami yang hidup di atas kekayaan itu justru menjadi bagian dari statistik kemiskinan,” sesal Vinsent dalam rilisnya kepada redaksi papuaglobalnews.com, Selasa 24 Juni 2025.
Mantan Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) KAP Mimika ini mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Mimika tahun 2024 menunjukkan Kabupaten Mimika masih tergolong sebagai salah satu kabupaten di Papua dengan tingkat kemiskinan tinggi di Indonesia. Hal ini sangat kontras dengan keberadaan PT Freeport Indonesia yang telah beroperasi sejak tahun 1977 dan menghasilkan miliaran dolar dari isi perut Gunung Amungsa.
Dikatakan, kedalaman tambang Grasberg yang mencapai lebih dari 1.500 meter di bawah permukaan tanah, menjadi simbol dari kekayaan yang terus digali, namun tidak dinikmati oleh masyarakat adat di sekitarnya.
Ia mengungkapkan selama hampir lima dekade, masyarakat asli Papua di sekitar area tambang hidup berdampingan dengan limbah.
“Kami mandi limbah, bukan emas,” ujar Vinsent.
Berdasarkan laporan lingkungan PT Freeport Indonesia tahun 2024, volume tailing yang dibuang ke dataran rendah Mimika mencapai lebih dari 230.000 ton per hari. Limbah ini telah menutup sebagian besar wilayah pesisir Mimika, merusak ekosistem dan menghilangkan ruang hidup masyarakat adat.
“Bayangkan, sejak tahun 1977 sampai tahun 2025, setiap hari isi perut gunung dibuang ke dataran rendah kami. Kami tidak hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan masa depan,” tambahnya.
Sebagai putra daerah, kebijakan hilirisasi nasional yang dicanangkan pemerintah pusat bertujuan untuk memutus rantai distribusi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Namun implementasi kebijakan ini justru mengabaikan prinsip keadilan.
“Smelter emas dan tembaga justru dibangun di Gresik, Jawa Timur, jauh dari lokasi tambang. Ini bukan hilirisasi, ini pemindahan nilai tambah dari Papua ke Jawa,” tegasnya.
Padahal lanjutnya, Papua memiliki status Otonomi Khusus. Namun, kebijakan pembangunan industri pengolahan dan pemurnian tetap tidak berpihak pada daerah penghasil.
“Ini adalah bentuk nyata dari Jakarta sentrisme yang masih hidup dalam kebijakan pembangunan nasional,” kritiknya.
Vinsent menyerukan kepada pemerintah pusat dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera membangun fasilitas smelter dan pengolahan tailing di Mimika. Hal ini bukan hanya soal keadilan ekonomi, tetapi juga soal keberlanjutan lingkungan dan sosial.
“Sudah saatnya mimpi kesejahteraan diwujudkan di tanah kami sendiri. Kami mendesak industrialisasi lokal untuk memutus biaya distribusi yang mahal, menyerap tenaga kerja lokal, dan membangun infrastruktur yang layak,” ujarnya.
Ia meyakini pembangunan smelter di Mimika akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi lokal, peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta penguatan kemandirian daerah. Selain itu, ketersediaan pasar baja murah, listrik, jalan, dan perdagangan saham berbasis emas akan menjadi katalisator bagi transformasi Mimika menjadi kota modern dan sejahtera.
“Papua tidak butuh janji lagi. Kami butuh aksi nyata. Kami butuh keadilan. Kami butuh pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan pada pemodal,” katanya.
Dikatakan, Dewan Adat Daerah Papua Tengah akan terus mengkawal dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, serta memastikan bahwa kekayaan alam Papua dikelola untuk kesejahteraan rakyat Papua, bukan untuk memperkaya segelintir elite (oligarki).
“Seruan ini bukan sekadar kritik, tetapi panggilan moral untuk membangun Indonesia yang adil dan setara dari Timur menuju Indonesia emas 45 serta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Vinsent. **