Palang Kantor dan Politik TPP: Membaca Perlawanan Pegawai Distrik Mimika Timur
Oleh : Laurens Minipko
SENIN PAGI, 11 Agustus 2025, Kantor Distrik Mimika Timur di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, berubah menjadi panggung ketegangan. Pintu masuk kantor digembok. Puluhan pegawai berdiri di depan, melarang siapa pun masuk. Mereka menumpahkan kemarahan atas pemotongan tunjangan penghasilan pegawai (TPP) yang disebut “besar dan tak masuk akal”.
Aksi ini lebih dari luapan emosi sesaat. Bagi pegawai distrik, pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) tanpa penjelasan jelas adalah pukulan yang menghantam dua hal sekaligus: dapur rumah tangga dan martabat diri. Dalih “rekap absensi tak jelas” yang digunakan untuk memotong TPP dianggap sebagai alasan kabur yang justru membuka pertanyaan tentang integritas sistem itu sendiri.
Tulisan ini ditempatkan dalam bingkai kajian filsafat sosial. Upaya penelusuran dan penyingkapan makna (hermeneutika) di balik peristiwa kasat mata itu.
TPP: Nafas Ekonomi dan Simbol Martabat
TPP di Papua tidak berheneti hanya sebatas “bonus” atau “uang tambahan” ASN. Di daerah seperti Mimika, di mana harga barang kebutuhan pokok melambung karena faktor biaya transportasi (udara, laut, darat dengan sejuta lingkaran setan akses dan proseduralnya) dan distribusi, TPP adalah penyangga utama ekonomi rumah tangga.
Seorang pegawai distrik yang enggan disebut namanya menyammpaikan, “Tanpa TPP, gaji pokok habis untuk cicilan dan biaya sekolah anak. Kami masih harus bayar listrik, beli air minum, beli sembako yang harganya cukup mahal.”
Dari sisi regulasi, TPP adalah instrumen yang diatur oleh pemerintah daerah (Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2024 tentang kedisiplinan ASN. Untuk memberi insentif berdasarkan beban kerja, kehadiran, dan kinerja pegawai. Namun, dalam praktiknya, TPP seringkali menjadi alat kontrol dan juga sumber ketegangan. Pemotongan TPP tanpa proses yang transparan menimbulkan krisis kepercayaan antara pegawai dan atasan.
Rekap Absen Tak Transparan: Retaknya Kepercayaan
Rekap absensi yang dijadikan alasan pemotongan TPP seharusnya adalah dokumen akurat, terverifikasi, dan terbuka. Namun di kasus Mimika Timur ini, pegawai mengaku tidak pernah menerima rekap final, apalagi kesempatan untuk mengklarifikasi data yang diduga salah.
Dalam kajian procedural justice, keadilan bukan hanya diukur dari hasil akhir (TPP cair atau dipotong), tetapi dari proses pengambilan keputusan. Bila prosedur itu tertutup, sewenang-wenang, atau bias (kuasa dan sentiment), maka legitimasi kebijakan runtuh. Dan saat legitimasi kebijakan runtuh, yang muncul adalah aksi langsung di lapangan, dalam hal Mimika Timur: palang kantor.
Palang Kantor: Bahasa Perlawanan di Papua
Tradisi “palang” bukan hal asing di Papua. Ia digunakan untuk menandai (simbol) penolakan, memprotes pembangunan yang dianggap melannggar hak, hingga menekan pihak yang dianggap lalai memenuhi janji. Palang kantor di Mimika Timur mempertunjukkan simbol memindahkan pusat kendali dari meja pimpinan ke tangan pegawai di halaman kantor.
Dalam kerangka pemikrian Michel Foucault (filsuf), ruang kantor biasanya adalah instrumen kuasa vertikal: pegawai tunduk pada atasan, pelayanan publik tunduk pada birokrasi. Tetapi dalam aksi ini, pegawai membalikkan relasi kuasa itu, menggunakan ruang yang seharusnya menjadi alat kontrol untuk justru mengontrol pihak atasan.




















































