Nepotisme dan Suara yang Terhapus: Sebuah Kritik dari Pinggir Tapare Mimika
Oleh : Laurens minipko
Nepotisme dalam budaya
SEORANG teman pernah menanggapi tulisanku dengan senyum ragu.
“Abang, aku hampir yakin nepotisme itu cara berada setiap suku di Konoha ini. Jadi bila melihatnya sebagai pertentangan atau ketidakadilan…hmmm, aku ragu hehe.”
Kalimat itu mengguncang pikiranku, membakar geloraku untuk memberi bobot baru atas materi tulisan yang ditanggapi itu. Aku paham maksudnya.
Dalam banyak komunitas, mendahulukan keluarga dianggap wajar, bahkan sebagai tanda kesetiaan. Lanjut kisah temanku:
“Ketika aku berada di Medan, Sumatera Utara, seorang Satpam kampus pernah berkata padaku: “Daripada saya berikan kesempatan untuk orang lain, lebih baik saya berikan untuk famili saya.”
Apa yang diucapkan teman dan Satpam itu memperlihatkan kenyataan penting.
Nepotisme bukan hanya persoalan Papua. Ia hadir di mana-mana sebagai mekanisme bertahan dalam dunia yang tidak adil. Namun, apakah karena ia terasa wajar, maka kita harus berhenti mengkritiknya? Apakah kita harus berhenti merekonstruksinya? Apakah karena ia tampak biasa dalam kebudayaan, kita harus memaafkannya?
Nepotisme terbungkus Solidaritas: Pembungkaman Partisipasi
DI SINILAH LETAK PERSOALAN. Nepotisem bisa lahir dari solidaritas, tapi ketika solidaritas kekerabatan itu menjadi dasar pengambilan keputusan publik, ia berubah menjadi alat kekuasaan.
Di Timika, kita menyaksikan bagaimana jabatan kepala distrik, proyek pembangunan, bantuan ekonomi, bahkan keanggotaan partai politik, bisa berputar di lingkaran keluarga tertentu. Ini bukan lagi soal famili, tapi soal penguasaan akses dan pembungkaman partisipasi.
Dan yang paling kerap dihapus dari proses itu adalah Perempuan Papua. Mama-mama penjual pinang, petani kecil di pinggir kampung, janda pejuang pendidikan, dan anak-anak muda perempuan yang lulus kuliah tapi tidak punya “jalur dalam”. Mereka menjadi kelompok yang tidak dianggap penting. Bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak memiliki hubungan darah dengan pemegang kuasa. Inilah wajah paling brutal dari nepotisme. Ia menghapus suara yang tidak berada dalam jaringan kekuasaan.
Merekonstruksi budaya nepotisme
Ketika kami mulai menulis dan menyuarakan kritik, itu bukan karena kami membenci adat atau menolak budaya. Justru karena kami mencintai tanah ini, kami merasa bertanggungjawab untuk bertanya.

































