Menjadi Tuan di Negeri Sendiri: Saatnya Orang Asli Papua Memimpin Freeport Indonesia
Belajar dari Praktik Internasional
Di Kanada, perusahaan tambang besar bekerja sama dengan komunitas First Nations, termasuk memberikan hak suara dalam pengambilan keputusan strategis. Di Australia, komunitas Aboriginal dilibatkan dalam perizinan, konservasi lingkungan, dan program pengembangan kapasitas.
Langkah serupa di Papua akan menempatkan OAP sebagai pemilik dan pengelola sumber daya mereka sendiri, sejalan dengan praktik pertambangan berkelanjutan internasional. Pendekatan ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat lokal bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi korporasi yang meningkatkan legitimasi, keberlanjutan, dan stabilitas operasi tambang.
Kepemimpinan OAP sebagai Langkah Strategis Nasional
Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pemerataan ekonomi dan industrialisasi strategis, penunjukan Frans Pigome menjadi Presiden Direktur PFI bukan sekadar pergantian figur, tetapi perubahan paradigma: dari tambang yang mengambil menjadi tambang yang memberdayakan.
Kepemimpinan OAP memungkinkan integrasi tiga elemen penting: keuntungan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian lingkungan. Negara dan pemegang saham PFI harus menjamin bahwa pemimpin Papua memiliki kewenangan penuh, bukan sekadar peran simbolik. Hanya dengan otoritas nyata, perubahan struktural dan pemberdayaan masyarakat dapat terwujud.
Mengindonesiakan Orang Asli Papua: Dari Slogan ke Pengakuan Sejati
Papua tidak kekurangan talenta; yang kurang hanyalah kesempatan dan kepercayaan. Sudah terlalu lama masyarakat Papua memberi tanpa dipercaya, berkorban tanpa diberdayakan. Penunjukan Frans Pigome sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia merupakan langkah pemulihan martabat dan keadilan struktural yang sesungguhnya.
Mengindonesiakan orang asli Papua bukan sekadar menjadikan mereka bagian dari administrasi negara, tetapi menjadikan mereka subjek penuh dari kehidupan berbangsa, yang dipercaya memimpin, memutuskan, dan menentukan arah pembangunan di tanahnya sendiri. Selama ini, banyak kebijakan yang berbicara tentang Papua, tetapi sedikit yang berbicara dengan Papua. Saatnya pola pikir itu diubah: dari pendekatan yang mengatur menjadi pendekatan yang mengakui dan mempercayai.
Memberi kepercayaan pada orang Papua untuk memimpin di tanah mereka sendiri berarti mewujudkan Indonesia yang inklusif dan berkeadilan. Kepemimpinan Frans Pigome dapat menjadi simbol konkret bahwa Indonesia bukan hanya slogan Bhinneka Tunggal Ika, melainkan bangsa yang berani membuktikan bahwa keanekaragaman adalah kekuatan, bukan sekadar retorika.
Papua kini memiliki peluang untuk menjadi tuan di negeri sendiri, bukan lagi penonton di tanah yang kaya akan emas, tembaga, dan potensi besar lainnya. Dengan kepemimpinan lokal yang kuat dan dukungan kebijakan nasional yang berpihak, masa depan pertambangan di Papua dapat diarahkan menuju model pembangunan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Mengindonesiakan Papua berarti menjadikan Orang Asli Papua merasa diakui, dipercaya, dan dihargai sebagai anak bangsa. Bukan sekadar dimasukkan dalam struktur, tetapi diberikan ruang untuk memimpin dan menentukan arah masa depan bangsanya sendiri. Itulah makna sejati dari Bhinneka Tunggal Ika keberagaman yang hidup dalam keadilan dan kesetaraan. **
Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan sejumlah data publik dan laporan resmi, antara lain Freeport-McMoRan 2024 Annual Sustainability Report, Kementerian ESDM Republik Indonesia, PDRB Papua 2021–2024, serta laporan dan pernyataan Majelis Rakyat Papua, tokoh adat, pemuda, dan lembaga pengembangan masyarakat lokal.

























