Oleh: Johanes Eliezer Samsong Wato (Doctoral Researcher, Bonn International Graduate School – Oriental and Asian Studies, University of Bonn, Germany)

 Kekayaan Papua dan Ketimpangan Representasi

TANAH Papua kaya akan emas, tembaga, dan berbagai sumber daya strategis lainnya. Namun, kekayaan ini kerap mengalir keluar, sementara masyarakat adat yang selama ini menjaga tanah dan budaya mereka sering hanya menjadi penonton dalam pengelolaan hasil bumi mereka sendiri. Paradoks “rich land, poor people” telah lama mewarnai kehidupan masyarakat Papua: mereka memberi tanpa dipercaya, bekerja tanpa memiliki otoritas strategis, dan mengelola sumber daya tanpa menentukan arah kebijakan.

”SADAR

Tambang Freeport yang berdiri di atas tanah adat tujuh suku besar, Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Moni, Mee, dan Nduga memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2021, menyumbang sekitar US$7,5 miliar penerimaan negara, sekaligus memberikan 68% kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 34% terhadap PDRB Provinsi Papua.

Namun, di balik angka fantastis ini, ketimpangan representasi tetap mencolok. Hingga Juli 2024, dari 5.703 karyawan langsung di Freeport, hanya 2.334 (40,9%) yang merupakan Orang Asli Papua (OAP), sementara 3.202 non-Papua dan 167 warga asing. Di jajaran pimpinan, terdapat satu direktur Papua, sembilan vice president, dan 55 manajer OAP, tetapi hingga kini belum ada OAP yang duduk di kursi Presiden Direktur. Fakta ini memperlihatkan bahwa meskipun Papua menjadi sumber daya utama, pengambilan keputusan strategis masih dikendalikan dari luar.

Frans Pigome: Putra Papua dengan Akar Lokal dan Pengalaman Global

Frans Pigome, putra asli Papua, lahir dalam keluarga sederhana yang menekankan pentingnya kerja keras dan pendidikan. Ia bergabung dengan PT Freeport Indonesia (PFI) pada tahun 2004 di divisi keuangan, menapaki tangga karier hingga menjabat sebagai Vice President sejak 2018.

Perjalanan kariernya diperkuat oleh pengalaman internasional di kantor pusat Freeport-McMoRan, Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. Di sana, ia mengikuti program pengembangan sumber daya manusia global dan strategi korporasi lintas negara. Pengalaman ini memperluas wawasan manajerial sekaligus membangun jejaring profesional yang kuat, sebuah aset berharga yang jarang dimiliki pemimpin lokal Papua di industri pertambangan.

Selain pengalaman global, Frans juga fokus pada pengembangan kapasitas generasi muda Papua melalui Institut Pertambangan Nemangkawi. Program ini menekankan keterampilan teknis dan manajerial sehingga banyak pemuda Papua berhasil naik dari pekerja lapangan menjadi operator ahli dan supervisor tambang. Kepemimpinan Frans dikenal dekat dengan realitas masyarakat lokal. Ia percaya bahwa kedaulatan sumber daya alam tidak hanya diukur dari kepemilikan saham negara, tetapi sejauh mana masyarakat adat dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan menikmati manfaatnya.

Kepemimpinan Lokal dan Dampak Nyata bagi Papua

Kepemimpinan OAP di pucuk perusahaan tambang bukan sekadar simbol. Dengan otoritas penuh, pemimpin lokal dapat menjembatani kepentingan korporasi, negara, dan masyarakat adat. Beberapa dampak positif yang bisa dicapai antara lain:

  1. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Kesempatan pelatihan dan bisnis bagi OAP akan lebih mudah dijalankan ketika kepemimpinan strategis berada di tangan mereka.
  2. Tata Kelola Sosial yang Adil: Keputusan strategis dapat mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat secara lebih proporsional.
  3. Pelestarian Lingkungan: Pemimpin lokal lebih memahami hubungan masyarakat dengan alam dan memiliki motivasi lebih besar untuk melindungi lingkungan.
  4. Inspirasi bagi Generasi Muda: Kepemimpinan OAP membuka jalur karier nyata bagi anak muda Papua, termasuk perempuan, dari pekerja lapangan hingga posisi manajerial.

Data Freeport-McMoRan 2024 menunjukkan bahwa tenaga kerja OAP telah mencapai 42% di wilayah Papua dan Jayapura, namun posisi strategis masih didominasi oleh non-Papua. Hal ini menegaskan bahwa kemajuan di level operasional belum diikuti oleh perbaikan di level pengambilan keputusan. Kepemimpinan Frans Pigome memberikan peluang nyata untuk menata ulang skema pembangunan yang inklusif, sehingga manfaat tambang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan peluang bisnis yang dikelola OAP.

Konteks Hukum dan Tantangan Kebijakan

Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 semestinya membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan strategis. Namun, praktiknya masih sering dikuasai oleh elit politik dan ekonomi dari luar Papua. Ketika masyarakat adat menuntut hak mereka, beberapa pihak justru mengaitkan tuntutan tersebut dengan gerakan separatis. Padahal, tuntutan ini bukan tentang pemisahan, melainkan tentang pengakuan dan partisipasi sejati.

Ketimpangan ekonomi yang dialami masyarakat Papua tidak hanya soal pekerjaan, tetapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi yang memadai. Banyak kampung di sekitar tambang masih menghadapi keterbatasan fasilitas dasar, meski wilayah mereka menjadi pusat produksi mineral strategis nasional. Memberikan ruang penuh bagi OAP di pucuk pimpinan perusahaan tambang adalah langkah penting untuk menyeimbangkan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya.