Oleh : Laurens Minipko

Di SUDUT pasar kota di Tapare Mimika, seorang mama duduk di atas bangku kayu pendek. Di hadapannya, tersusun buah-buah pinang yang belum terjual. Ia mengunyah satu buah pinang seolah menjadi penanda undangan bagi pembeli. Ia mengunyah sepi sambil mengamati lalu-lalang orang yang terburu waktu. Di balik lapak kecil yang semi reot, ada tubuh, ada napas, ada harap. Tapi lebih dari itu – ada Dasein.

Tapare Mimika. Ia bukan sekadar ruang hidup, tempat tubuh-tubuh bekerja, suara berseru, dan keberadaan diuji. Di tempat seperti Tapare Mimika, Marthin Heidegger (Filsuf Jerman) tak pernah benar-benar datang, tetapi Dasein – yang ia sebut sebagai “ada yang menyadari keberadaannya”- berjalan setiap hari di antara mama-mama penjual pinang, petani, anak muda yang menulis pada layar kaca di sudut malam, dan pemuda yang merasa tak punya tempat di dunia yang makin sempit.

”MTQ

Sambil memotret realitas eksistensial “dasein” itu, saya teringat kata-kata seorang teman:

“Abang sudah menerjemahkan satu teks ke dalam bentuk pengalaman hidup. Saya mengikuti uraian abang dalam perspektif “dasein” Heidegger. Mengkritisi sesuatu “ada” bukan menurut penafsir ataupun simbol2 terlihat. Mungkin baik kita mengelola “energi yang ada” daripada sebatas mengkritik.”

Saya memahami kedalaman makna dan pesan dari kata-kata teman itu. Yang jelas tertulis pada dialektika itu adalah Heidegger dengan salah satu anasir nalarnya: “dasein”. Bertolak dari nalar tersebut, saya berupaya membangun “lapak nalar” saya di atas fondasi nalar Marthin Heidegger, yang hemat saya sangat relevan dan kuat, yaitu “dasein”, “ada”, “in-der-Welt-sein”, “care” atau “Sorge”, “eigenlich”, “uneigenlich”. Di atas fondasi itu, saya membentangkan peta jalan nalar esai ini sebagai berikut: “Dalam pemikiran Marthin Heidegger, kritik atas “ada” bukan tentang menuding atau menyederhanakan makna hidup, tetapi meresapi dan menghuni dunia secara otentik (eigenlich).”

Dunia dan Ketimpangan: Dasein dan in-der-Welt-sein

Heidegger (dalam Being and Time) dengan sengaja tidak menggunakan kata “manusia” (Mensch) atau “jiwa” (Seele) karena itu sudah terlalu dibebani oleh makna-makna lama oleh pemikiran filsuf-filsuf kuno seperti Plato, Descartes, juga dalam diskursus psikologi modern). Ia memilih kata Dasein (bhs. Jerman) untuk subjek yang “being-there” atau “ada-di-sana”. Term itu dipakainya untuk menunjukkan makhluk yang sadar akan keberadaaannya sendiri.

Kesadaran Dasein dibangun di dalam dunia (in-der-Welt-Sein) yang telah distrukturkan, bertumbuh dalam pola relasi, membekas dalam sejarah, dituturkan dalam bahasa dan terbatas oleh tubuh (temporal). Ia adalah makhluk yang sedang menjadi. Itu sebabnya ia ada pada masa lalu (warisan relasi adat), masa kini (berhadapan pada pilihan memutuskan), dan masa depan (keberanian untuk mengubah dunia). Heidegger menyebut peta waktu keberadaan Dasein sebagai ekstaksi waktu.

Contoh di Tapare Mimika

“Mama Papua yang menjual pinang bukan sekadar “tubuh bekerja”-ia adalah Dasein yang mengada di dunia yang tak adil, yang menyadari keterpinggirannya, dan tetap bertahan ‘mengada’ untuk masa depan dengan harga diri.”

Heidegger berpendapat bahwa Dasein itu in-der-Welt-sein- berada di dalam dunia. Tapi ingat bahwa dunia tidak netral. Sekali lagi: dunia tidak netral. Di Tapare Mimika, dunia berarti: dana kampung yang dibagikan ke famili pejabat, keputusan-keputusan yang tak melibatkan perempuan, proyek-proyek pembangunan yang tak pernah bertanya pada rakyat, dan sederet litani lainnya. Maka pertanyaannya: Apa gunanya “mengelola energi yang ada jika energi itu hanya boleh dimiliki oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan?”

Saya melihat mama-mama yang berdiri berjam-jam menunggu pembeli pinang, tapi tak pernah diajak berbicara soal dana Otsus.

Saya melihat anak muda yang lulus kuliah, tapi ditolak kerja karena tak punya “marga dalam”. Dunia di mana Dasein sedang menjadi di-sana adalah dunia yang telah disusun agar beberapa keberadaan lebih dianggap “layak ada” dibanding keberadaan yang lain. Di titik pijak nalar ini, saya mengajak kita beranjak masuk pada konsep Heidegger yang sangat penting yaitu care atau Sorge.

Kritik adalah Tindakan Care

Heidegger menyebut bahwa Dasein adalah makhluk yang memiliki care (Sorge). Kita peduli terhadap dunia, terhadap sesama, terhadap masa depan. Maka kritik sosial bukanlah bentuk kemarahan liar. Ia adalah bentuk paling jujur dari care-kepedulian pada “sesama Dasein” yang keberadaannya dihambat oleh struktur kekuasaan.

Kritik kita terhadap nepotisme, bias gender, dan pembungkaman bukan semata-mata penolakan terhadap “ada”, tapi usaha untuk menciptakan dunia di mana lebih banyak orang bisa hadir secara utuh, bebas, dan bermakna.

Kita ingin dunia yang memungkinkan seorang mama Papua tak hanya menjual pinang, tapi juga menentukan arah kebijakan kampungnya. Kita ingin dunia dimana seorang anak muda tak hanya disuruh diam demi sopan santun, tapi dihormati sebagai “Dasein” yang berpikir dan peduli.

Menuju Dunia Baru: Ruang Keberadaan Bersama

Di Tapare Mimika, dunia itu bisa berarti: siapa yang berhak bicara dalam musyawarah kampung, siapa yang mendapat dana Otsus, siapa yang disebut “tidak tahu diri”, siapa yang boleh maju dalam jabatan, dst. Lapak pinang mama Papua berada di tengah dunia itu. Ia bukan sekadar ruang jual beli, tapi ruang pergulatan hidup, di mana keberadaan terus diuji oleh ekonomi, adat, relasi kuasa, dan politik.

Heidegger memperingatkan bahaya hidup secara tidak otentik (uneigenlich) adalah ketika Dasein larut dalam das-man, dalam suara mayoritas, dalam kebiasaan yang menumpulkan kesadaran. Tapi di lapak pinang, ada semacam perlawanan sunyi. Mama itu mungkin tak menulis esai atau berpidato di mimbar, tapi kehadirannya adalah bentuk eksistensi yang keras kepala: “Saya ada di sini. Saya bertahan. Dunia boleh menyingkirkan saya, tapi saya tak akan hilang.” Di sinilah filsafat bertemu tubuh. Di sinilah Dasein bukan hanya istilah akademik, tetapi daging dan peluh, ketabahan dan air mata, keberanian untuk tetap ada.

Dalam rumah besar eksistensialisme Heidegger, teori kritik Heidegger dibangun secara fundamental, yaitu lewat pembongkaran cara berpikir Barat sejak Plato dst, lalu ia memulai pembangunan fondasi berpikir modern (mulai dengan Subjektivitas modern, ruang teknologi dan peradaban modern, LUPA akan pertanyaan tentang ada/Sein, dan kritik diam: Bahasa). Kritik Heidegger adalah kritik terhadap dasar pemikiran itu sendiri- sebuah fundamentale Kritik.

Dari Tapare Mimika kita menulis bukan untuk menyerang tradisi atau budaya. Kita menulis agar tradisi menjadi ruang hidup bersama, bukan pagar ekslusif yang melindungi nepotisme. Kita menulis agar budaya tidak membungkam keberadaan, tetapi merawatnya.

Kita sepakat dengan ajakan untuk “mengelola energi yang ada”. Tapi energi itu tak bisa dikelola tanpa menamai ketimpangan yang menghisapnya. Kritik adalah langkah pertama untuk menyembuhkan dunia, karena tanpa menyebut luka, bagaimana mungkin kita bisa merawatnya?

Saya percaya sedang menjadi Dasein hari ini di Tapare Mimika atau dimana saja kita berada, menjadi dasein yang sadar, bukan sekadar makhluk reaktif. Tapi justru karena kita“menjadi”, maka kita bersuara. Karena kita menyadari keberadaan kita di dunia yang tidak adil, maka kita menulis. Karena kita ada, kita mengkirit-bukan demi menghancurkan melainkan demi untuk membuka ruang agar Dasein yang lain juga bisa ada secara utuh. Kritik yang dibangun adalah awal dari perjalanan “menjadi ada.” (Isi tulisan tanggung jawab penulis)