Maumere,papuaglobalnews.com – Apakah Anda pernah ke Maumere ibu Kota Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)?

Menurut Wikipedia, Maumere, dalam bahasa daerah Ende Lio, berarti “pantai besar” atau “pantai luas”. Kata “ma’u” berarti pantai, dan “mere” berarti besar atau luas. Jadi, Maumere merujuk pada lokasi geografisnya yang berada di pesisir pantai yang luas.

20250629 111734
Suasana hening saat berada dalam Gereja tua Santo Ignatius Loyola, Minggu 29 Juni 2025. (Foto-papuaglobalnews.com)

Kota ini pernah menjadi perhatian dunia karena dikunjungi oleh Sri Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 11 dan 12 Oktober tahun 1989.

”MTQ

Kabupaten dengan julukan Nian Tanah Sikka ini, kini selain situs Rohani “Semalam Vatikan” Kamar Paus Joannes Paulus II di Ritapiret Sekolah Tinggi Calon Imam Diosesan, ada situs sejarah rohani peninggalan bangsa Portugis yang perlu anda kunjungi. Salah satunya gedung gereja tua warisan Portugis yang masih aktif digunakan oleh umat setempat, tepatnya di Desa Sikka, Kecamatan Lela masuk dalam wilayah Paroki St. Ignatius Loyola.

Untuk sampai di lokasi itu para wisatawan bisa menggunakan kendaraan roda empat umum dan roda dua, dengan jaraknya sekitar 30 kilometer dari Kota Maumere. Membutuhkan waktu tempuh perjalanan 30 menit.

Desa Sikka berada di bibir pantai hingga bukit kurang lebih 50 sampai 100 meter. Penduduknya sebagian besar bermata pencaharian nelayan dan menenun.

Gereja Sikka yang memiliki nilai historis perkembangan agama Katolik dan keunikan banyak dikunjungi wisatawan asing, domestik, umat kristiani juga umat beragama lain.

Gregorius Tanela, juru pemeliharaan Gereja St. Ignatius Loyola Sikka kepada papuaglobalnews.com pada Minggu 29 Juni 2025 mengisahkan, awal kehadiran agama Katolik dan Gereja Katolik Tua di Sikka tidak terlepas dari peran besar Moan Lesu yang kemudian diangkat oleh D. Afonso de Albuquerque, Gubernur Malaka Pertama menjadi Raja Sikka dengan nama Don Aleksius Simenes da Silva.

20250629 111017
Tampak depan gedung gereja Santo Ignatius Loyola di Kampung Sikka, Kecamatan Lela berdiri kokoh, Minggu 29 Juni 2025. (Foto-papuaglobalnews.com)

Ia menjelaskan pusat agama Katolik di Flores di Solor dan di Sikka. Penyebaran agama Katolik di Sikka oleh seorang guru agama asal Portugis bernama Agustinho Rosario da Gama. Dalam penyeberannya didampingi oleh Don Aleksius Simenes da Silva sebagai raja pertama Sikka yang diangkat oleh Gubernur Malaka pertama asal Portugis bernama D. Afonso de Albuquerque. Ia adalah sosok pemimpin penaklukan Malaka pada tahun 1511 dan memiliki pengaruh besar dalam penobatan raja-raja di wilayah taklukannya, termasuk Sikka.

Dari Kampung Sikka penyebarannya meluas ke arah barat ke Pulau Ende, Bajawa hingga Manggarai-Labuan Bajo.

Ia mengungkapkan agama Katolik ini sudah ada di Sikka pada akhir tahun 1500 atau awal tahun 1600 san. Ketika itu seorang tokoh masyarakat Sikka Moang Lesu mencari tempat atau pulau untuk manusia lahir dan hidup, hidup terus tidak mati.

Selanjutnya Moang Lesu dibawa oleh orang Portugis dengan kapal menuju Malaka. Setibanya di Malaka Moang Lesu bertemu dengan Gubernur Malaka pertama berkebangsaan Portugis. Ia kemudian menyampaikan maksud dan tujuannya bahwa di dunia ini ada kelahiran, hidup dan pasti mati.

Mendengar itu, Gubernur Malaka D. Afonso de Albuquerque menyampaikan jika ingin bahagia terus selama hidup di dunia dan kehidupan kekal diakhirat harus masuk mengikuti dan belajar agama Katolik.

Setelah mendengar penjelasan Gubernur Malaka, Moang Lesu menyatakan kesanggupan untuk belajar agama Katolik, menghayati iman Katolik secara baik. Pada saat itu Moang Lesu dibaptis dengan nama Don Aleksius Simenes da Silva. Setelah dibaptis, Don Aleksius Simenes da Silva kembali ke Sikka bersama seorang guru agama Katolik bernama Agustinho Rosario da Gama.

“Jadi bapa ibu mendengar ada nama di belakangnya da Gama atau da Silva itu mereka turunan asli Portugis yang datang di Sikka ini untuk sebarkan agama Katolik. Keturunannya sampai saat ini masih ada,” jelas Gregorius Tanela, juru pemeliharaan Gereja St Ignatius Loyola Sikka kepada papuaglobalnews.com dalam kunjungan di Gereja Tua Sikka pada Minggu 29 Juni 2025.

Setelah Don Aleksius Simenes da Silva dikukuhkan sebagai raja, maka berdirilah kerajaan Sikka pada akhir tahun 1700 atau awal tahun 1800. Pada saat itu menjadi cikal bakal dimulainya bertumbuhnya ajaran iman Katolik.

Dengan dimulainya penyebaran agama Katolik, kapal-kapal Portugis yang datang berlayar berlabuh di Sikka dengan tujuan dagang mencari rempah-rempah ke Maluku, Tim-Tim-Dili.

Gregorius menceritakan berdasarkan jalur yang pernah dilaluinya lintasan penyeberangan Laut Sawu masuk Konga hingga Dili (Timor Leste) sudah dekat dengan perbatasan Maluku.
Sehingga di Konga menjadi basis pelayanan penyebaran agama Katolik.

Ia menjelaskan dibangunnya Gereja Santo Ignatius Loyola di Desa Sikka yang berdiri kokoh ratusan tahun hingga kini bekerjasama dengan Raja Sikka ke 11 Don Andreas Jati Simenes da Silva.

Ia menyebutkan pada awal hadirnya agama Katolik tahun 1500 dalam pelayanan masih menggunakan bangunan darurat. Gerejanya bernama Santa Lusia berada di tengah Kampung Sikka.

Namun setelah terbentuk wilayah Nusa Tenggara dimana pemerintahan Portugis menyerahkan kepada pemerintahan Belanda baru dibangun oleh Pater Yohanes F. Engbers, SJ berkebangsaan Portugis bekerjasama dengan Raja Sikka ke 11 pada tahun 1893 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1899.
Bangunan gereja ini degan panjang 47 meter dan lebar 12 meter merupakan hasil rancangan Pastor Antonius Dijkmans, arsitek yang juga ikut mendesain Gereja Katedral Jakarta. Konstruksi bangunan menggunakan kayu jati dan semen yang didatangkan dari Pulau Jawa.

Bangunan gereja yang berusia ratusan tahun ini pada tsunami dan gempa bumi pada 12 Desember 1992 lalu tetap berdiri kokoh.

Pada bagian atas pintu masuk bertuliskan ‘Sawe-sawe potat dese, Poi Tuhan gera hude” adalah ungkapan dalam bahasa Sikka yang berarti “Semua akan hilang, hanya Tuhan yang kekal”.

Ia mengatakan wilayah Nusa Tenggara sesungguhnya dari awal Belanda tidak melirik dengan alasan kondisi topografisnya kurang subur. Belanda lebih cenderung memilih berlayar ke wilayah Sumatera, Kalimantan, Papua dan Maluku untuk mengambil hasil bumi berupa kopi, cengkeh, pala dan kayu jati.

“Jadi sebenarnya dari awal Belanda belum lirik wilayah Kita. Sehingga kita bilang Belanda jajah Indonesia hingga 350 tahun lebih untuk wilayah Flores tidak sampai,” tutur Gregorius.

Adanya gereja tua di Sikka ini selain menjadi daya tarik bagi siapa saja yang datang mengunjungi dan berdoa, kini menjadi sumber berkat bagi masyarakat setempat. Setiap pengunjung hendak masuk dalam gereja wajib mengenakan sarung atau selempang. Sekali pakai dikenakan biaya sewa 10.000. **