Lukas Enembe: Di Wajahmu Ku Renung Luka
Oleh : Laurens Minipko
Siapa Sesudah Lukas?
DUDUK menunggu waktu keberangkan di ruang tunggau Bandara Sentani, saya tidak hanya menanti pesawat. Saya menanti nalar datang, dan ia hadir seperti embun di pagi Danau Sentani, dan kabut yang memutih di hamparan laut biru Teluk Youtefa: jernih, sunyi, tapi menyimpan getar yang dalam, ke titik sentrifugal nalar filsafat. Di hadapan saya, sebotol minuman mineral, semangkuk mie kuah rasa soto, empat butir telur rebus, dan sepasang sumpit yang saya pegang sekenanya. Makanan ini sederhana, tapi cukup untuk mengantar saya pada satu pertanyaan yang mengendap. SIAPA YANG AKAN DUDUK SESUDAH LUKAS ENEMBE?
Tiba-tiba datang seorang teman. Diskusi kami terbuka dan lebar tapi tetap pada fokusnya. Saya tuturkan pertanyaan tersebut padanya. Diskusi hening sejenak, seraya saya mengunyah lanjut mie kuah dengan paduan rasa soto, dibalut putih dan kuning telur ayam rebus. Sahabat itu menjawab pertanyaan saya dengan me-litani nama-nama pendahulu penampuk kursi 01 Papua itu. Ada Eliezer Jan Bonay, Frans Kaisiepo, Izaac Hindom, Barnabas Suebu, Jacob Patipi, Jaap Salossa, Freddy Numberi, Abraham O. Ataruri, Lukas Enembe. Ia melanjutkan: Apa mungkin fase emas ini akan mengundang figur baru dari dataran Ha-Anim?? Saya membalasnya: Who knows?
Lukas sudah wafat. Nama yang dulu dieluk-elukkan sebagai “anak gunung” yang duduk di kursi tertinggi Papua, kini tinggal dalam cerita, dalam foto-foto upacara, dalam luka dan tanya. Di ruang sebelah, calon penumpang lalu-lalang, menanti dipanggil menuju pintu keberangkatan. Dari sudut sana, suara biola seorang anak muda Papua terdengar lirih. Nyaring tapi tidak ingin menonjol, seperti kerinduan rakyat pada pemimpin yang benar-benar tahu rasa tanahnya.
Di luar jendela bandara, terlihat samar garis Pegunungan Cyclops. Sunyi, menjulang, seperti saksi yang enggan bicara. Saya membayangkan, jauh di Wamena atau Illu, atau Kobakma, atau Tembagapura, atau Jila, mama-mama di honai bertanya hal yang sama. SIAPA YANG AKAN DUDUK SESUDAH LUKAS, MUTIARA DARI GUNUNG ITU? Apakah ia akan datang dengan suara rakyat atau suara kekuasaan? Apakah ia akan membawa mata yang jernih seperti danau dan laut teluk, atau tangan yang licin seperti amplop.
Tulisan ini bukan penghakiman. Ini ajakan untuk mengingat. Sebab seperti ruang tunggu ini, Papua pun sedang menunggu, bukan pesawat, tapi pemimmpin yang tidak hanya duduk di atas kursi, tapi juga bersila di tanah rakyatnya. Dan dari meja kecil tempat saya menjulurkan tangan, saya mulai menulis tentang Lukas Enembe, sebagai sosok, sebagai simbol kuasa, dan sebagai luka yang belum selesai.
Figur, Simbol dan Bayang-Bayangnya
Lukas Enembe (LE) tidak hanya dua kali menjabat sebagai Gubernur Papua. Ia menjabat sebagai simbol. Dalam tubuhnya, rakyat gunung-lembah dan pesisir menaruh mimpi. Bahwa orang asli Papua bisa memimpin di rumah sendiri. Dalam tutur kasarnya yang jujur dan gerak tubuhnya yang keras kepala, banyak orang melihat representasi dari keaslian, bukan kepalsuan politik ala elite pusat.
Ia adalah “bapa pembangunan” bagi sebagian, dan “penghalang transparansi” bagi sebagian lainnya. Lukas hadir sebagai paradoks. Pemimpin yang dekat dengan rakyat, tapi juga tertutup dalam pengelolaan kekuasaan. Ia bicara soal Jakarta yang tidak paham Papua, namun bersimpuh dalam diam ketika rakyat mempertanyakan ke mana perginya triliunan dana Otonomi Khusus.
Lukas tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam sistem politik pasca-reformasi yang membuka jalan bagi otonomi, namun tetap mengikat dengan rantai fiskal dan hukum dari pusat. Ia menjadi “martir kecil” di tanah besar, dengan akses pada dana besar, tetapi dikeliliingi oleh jejaring loyalis yang menjadikan kuasa sebagai instrument pertukaran, sedikit berbanding sejajar dengan pelayanan yang telah ia wujudkan.
Kasus Korupsi dan Penangkapan KPK
Pada Januari 2023, LE ditangkap olek Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tuduhan utamanya, menerima gratifikasi dan suap senilai lebih dari Rp. 45 miliar. Publik gempar. Bukan hanya karena nominalnya, tapi karena figur Lukas selama ini dianggap sebagai perpanjangan lidah rakyat Papua yang berani “melawan” Jakarta. Namun, pertanyaan kritis segera bermunculan. Mengapa baru sekarang? Mengapa setelah sekian tahun laporan BPK menunjukkan penyimpangan anggaran, baru kali ini negara bersikap tegas? Apakah penegakan hukum ini murni, atau ada dimensi politik yang membayangi?
Beberapa aktivis dan akademisi Papua mencium aroma yang lebih dalam. Penangkapan Lukas bukan hanya soal korupsi, tapi juga tentang pengendalian kuasa politik di Papua. Lukas yang keras kepala terhadap pusat, yang menyuarakan “referendum secara implisit”, dan yang punya jaringan politik lokal yang kuat, dilihat sebagai aktor yang sulit dikendalikan. Maka, ketika ia jatuh, ia bukan hanya tersangka hukum. Lebih dari itu. Ia adalah pesan itu sendiri. Pesan simbolik dari negara kepada elite Papua lainnya: “JANGAN MELAMPAUI BATAS.”
Lukas Enembe adalah simbol itu sendiri, sekali lagi. Simbol tentang bagaimana negara menerapkan wajah setengah demokrasi pada pejabat yang menduduki kursi panas 01 Papua. Penegakan hukum yang selektif untuk mendapatkan dan menguasai peta kuasa.
Dalam tubuh Lukas, politik dan hukum bertemu. Tubuhnya yang lemah, sakit stroke, terguncang di ruang tahanan dan perawatan, hingga wafatnya sungguh menjadi metafora telanjang dari kondisi kekuasaan lokal Papua hari ini. Pernah kuat, kini rapuh; pernah disanjung, kini dipermalukan. TIDAK PEDULI SIAPA PUN DIA, BAIK YANG SUDAH MENJABAT, MAUPUN YANG AKAN MENJABAT. TIDAK PEDULI SIAPAPUN DIA, BAIK TABI MAUPUN BUKAN TABI, ATAU WILAYAH ADAT LAINNYA.
Embun yang Mengering atau Nalar yang Menetes Terus?
Kini saat kabut kekuasaan mulai tersingkap, saat tubuh Lukas Enembe terbaring kaku membisu di balik pusara, rakyat Papua masih menunggu transparansi dari para penerusnya. Oleh karena itu, kita patut bertanya. Apakah embun nalar yang tadi menetes di jidat kesadaran kita akan segera mengering, ataukah ia akan terus mengalir menjadi kesadaran kolektif.
Lukas Enembe mungkin bukan yang pertama dan bukan yang terakhir. Ia hanya satu nama dalam daftar panjang pemimpin yang naik karena harapan rakyat, namun jatuh karena jebakan sistem yang tidak pernah benar-benar memihak rakyat. Tapi kita, sebagai rakyat, punya pilihan:
Terus Menumpuk Harapan pada Nama-nama Besar berikutnya Atau
Mulai menanam nalar dalam ruang-ruang kecil. Di dapur tanah beratap jerami, di kampung, di lapak pasar, di ruang kelas, di media lokal, agar kekuasaan tidak lagi berjarak, dan simbol tidak lagi membungkam kritik.
Dalam hening terpaan angin laut dari cela-cela lengkungan Jembatan Merah, di pasar kecil di Entrop, atau di balik rumah-rumah warga yang memandang nama Lukas lewat televisi atau baliho yang masih terpampang, nalar rakyat sedang diuji. Apakah luka ini akan membuat kita lupa, atau justru membuka kesadaran baru?
Dan generasi Papua hari ini sedang berdiri di persimpangan. Lukas sudah berlalu. Tapi pertanyaannya tetap tinggal. Siapa yang benar-benar bicara untuk rakyat Papua, dan siapa yang sedang menyiapkan panggung untuk dirinya sendiri? Di akhir tulisan ini, di ruang sadar kita Frantz Fanon mengajarkan kita bahwa “Setiap generasi harus menemukan misinya, mengisinya atau mengkhianatinya.” (Isi tulisan tanggung jawab penulis)