Oleh : Laurens Minipko

SABTU sore, 9 Agustus 2025, belasan lelaki berdiri rapat di sebuah halaman di Jalan Ahmad Yani, Timika. Di tengah mereka Gregorius Okoare, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (Lemasko) berdiri dengan wajah tegas. Ia didampingi Marianus Maknaepeku, Wakil Ketua, serta tokoh pemuda Kamoro Jhon Mamiri. Kepalan tangan dan jempol terangkat dalam sesi foto singkat itu adalah pernyataan sikap: Lemasko pimpinan Gregorius  menolak Musyawarah Adat Suku Kamoro (Musdat) yang direncanakan berlangsung September 2025 (Papuaglobalnews, Sabtu , 9 Agustus 2025).

Di balik momen singkat itu, tersembunyi kisah panjang tentang retaknya kesatuan lembaga adat yang mestinya menjadi simbol persatuan Suku Kamoro. Dualisme kepemimpinan Lemasko yang mengemuka dalam beberapa tahun terakhir kini berubah menjadi konflik internal yang berlapis. Adat, politik, dan ekonomi. Mengingat potret konflik tersebut, tulisan ini ditempatkan dalam cakrawala kajian politik, ekonomi dan antropologi.

”SADAR

 Akar Sejarah Lemasko

Lemasko dibentuk pada awal 1996, lahir dari kebutuhan Suku Kamoro untuk memiliki wadah  resmi yang diakui pemerintah dan perusahaan tambang raksasa yang beroperasi di Mimika. Fungsi utamanya adalah memperjuangkan hak ulayat, melestarikan budaya, serta memastikan masyarakat Kamoro mendapat manfaat dari janji yang bernama pembangunan.

Struktur Lemasko mengadopsi prinsip musyawarah adat yang dipadukan dengan format organisasi modern. Ada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan bidang-bidang kerja. Dalam teori, Lembaga ini mewakili suara kolektif seluruh warga Kamoro, dari pesisir yang terbentang dari Barat ke Timur, hingga pedalaman Sungai (semisal Sempan).

Namun, sejak awal, Lemasko berdiri di persimpangan antara mandat adat dan intervensi eksternal. Sumber dana besar yang mengalir lewat program kemitraan perusahaan tambang dan bantuan pemerintah menjadi pisau bermata dua: membuka peluang pembangunan, tetapi juga menanam bibit perebutan pengaruh.

Munculnya Dualisme

Retakan pertama mulai terlihat ketika perbedaan tafsir mandat kepemimpinan tidak terselesaikan dalam Badan Musyawarah Adat (2010-2013) pasca kejadian itu. Dinamika dualisme itu muncul terus-menerus (2016, 2022, 2023, 2024, dan 2025). Ada yang menganggap pemilihan harus mengikuti garis marga tertentu sesuai adat, ada pula yang menekankan prosedur demokratis lewat pemungutan suara perwakilan kampung (Antara News, 15 Mei 2020).

Situasi memburuk ketika faksi berbeda mengklaim kepemimpinan sah. Dalam kasus terkini, kubu Gregorius Okoare menolak Musdat September  2025 yang digagas oleh kelompok lain yang disebut-sebut sebagai “kepemimpinan tidak sah” (Seputarpapua.com, Rabu 30 April 2025).

Kedua pihak sama-sama mengklaim legitimasi. Di mata kubu Gregorius, Musdat yang direncanakan itu tidak memenuhi prosedur adat, bahkan dianggap sarat intervensi politik dari pihak luar. Sementara faksi lawan berpendapat bahwa Musdat adalah jalan demokratis untuk menyegarkan kepemimpinan Lemasko dan memperluas partisipasi.

Dampak di Lapangan

Dualisme Lemasko bukan sebatas perdebatan di ruang rapat. Di kampung-kampung, warga mulai “terbelah”. Ada kampung yang menolak menghadiri acara “adat” jika difasilitasi kubu lawan. Bantuan dan program kemitraan pun terhambat karena kedua kubu saling menggugat hak tanda tangan di dokumen resmi.