Dikatakan, implementasi dana Otsus di Mimika juga menghadapi hambatan birokrasi yang serius. Keterlambatan pencairan tahap kedua disebabkan oleh ketidaklengkapan dokumen dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Meskipun mekanisme pencairan bertahap 30 persen, 45 persen dan 25 persen dengan syarat realisasi minimal 70 persen dimaksudkan untuk mendorong disiplin anggaran, fokus yang berlebihan pada pelaporan administratif berisiko mengabaikan pencapaian hasil substantif (outcome) dari program-program pemberdayaan.

Kejanggalan Konstitusional dan Potensi Penyalahgunaan Kewenangan

DAD Mimika juga menyoroti adanya kejanggalan konstitusional dalam implementasi dana Otsus. Berdasarkan UUD 1945 dan UU Pemerintahan Daerah, terdapat enam urusan pemerintahan yang bersifat absolut dan tidak dapat diserahkan kepada daerah, yaitu: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

”SADAR

Namun, laporan di lapangan menunjukkan bahwa alokasi dana Otsus dan DTI sering kali menyentuh sektor-sektor yang merupakan kewenangan pusat. Misalnya, penggunaan dana untuk perhubungan dan komunikasi strategis yang seharusnya berada di bawah kendali kementerian terkait. Hal ini menimbulkan risiko tumpang tindih kewenangan dan penyalahgunaan dana.

Selaku Ketum DAD Mimika, Vinsent menyerukan agar Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) jalur Otsus tidak boleh tinggal diam.

“Jika perlu, kami akan melaporkan Pemerintah Daerah Mimika keKkejaksaan agar penyaluran dana Otsus tidak disalahgunakan,” ujar Vinsent

DAD Mimika juga meminta agar mekanisme pengawasan diperkuat oleh lembaga adat, legislatif maupun oleh masyarakat sipil. Dana Otsus harus kembali kepada tujuan awalnya. Memberdayakan masyarakat adat Papua, bukan menjadi alat pemenuhan target administratif atau proyek-proyek fisik yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan OAP.

Sehubungan dengan hal ini DAD Mimika mengusulkan beberapa langkah strategis:

  1. Audit independen dana Otsus dan DTI. Dalam audit melibatkan lembaga independen untuk melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan dana Otsus di Mimika.
  2. Revisi mekanisme evaluasi kinerja. Mengubah indikator keberhasilan dari sekadar realisasi anggaran menjadi pencapaian outcome nyata terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pemberdayaan ekonomi masyarakat adat.
  3. Penguatan peran MRP dan DPRP. Mendorong MRP dan DPRP untuk lebih aktif mengawasi dan mengevaluasi implementasi Otsus, serta memperkuat fungsi legislasi dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.
  4. Peningkatan transparansi dan partisipasi publik. Menyediakan akses terbuka terhadap dokumen perencanaan dan pelaporan dana Otsus, serta melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan dan evaluasi.
  5. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana.

Mendorong aparat penegak hukum untuk menindak tegas penyalahgunaan dana Otsus, termasuk melalui jalur pidana jika ditemukan unsur korupsi atau pelanggaran hukum lainnya.

Dikatakan, dalam pengelolaan dana Otsus harus kembali ke spirit Otsus. Dana Otonomi Khusus bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan amanat konstitusi untuk memperbaiki ketimpangan historis dan struktural yang dialami oleh masyarakat adat Papua.

Implementasi yang menyimpang dari semangat ini sama saja dengan mengkhianati tujuan dasar Otsus itu sendiri. DAD Mimika mengajak seluruh elemen bangsa, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga legislatif, masyarakat sipil dan media untuk bersama-sama mengawal implementasi dana Otsus agar benar-benar menjadi alat transformasi sosial, ekonomi, dan budaya bagi Orang Asli Papua. **