JEJAK KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN APBD DI INDONESIA (Komite Nasional Daerah, Negara Federasi – Bagian Kedua)
Oleh : Laurens Minipko, Mantan Anggota KPU Mimika – Isi Tulisan Tanggung jawab Penulis
Pengantar
Pada bagian Satu tulisan berjudul JEJAK KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN APBD DI INDONESIA, saya telah menyajikan selayang pandang paparan historis jejak konsep embriotik kebijakan “otonomi daerah” sebagaimana yang ditetapkan dan dipraktekkan Pemerintah Hindia Belanda di semua daerah jajahan berdasarkan dua naskah konstitiusi, yaitu Desentralisasi Wet 1903 atau Wet op de Decentralisatie dan konstitusi Indische Staatsregeling 1925.
Membaca Kembali pasal-pasal hasil amandemen dalam konstitusi Desentralisasi Wet 1903 (pasal 68a, 68b dan 68c) terlihat konsep embriotik “otonomi daerah”, yaitu: 1. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah dengan badan perwakilan (Gemeente, regentschap dengan instrument pemerintahan masing-masing seperti Burgemeester/Regent-pejabat kolonial yang memimpin suatu kota; dan Raad atau Dewan Lokal) namun tetap di bawah penunjukan dan pengawasan Gubernur Jenderal); 2. Dekonsentrasi adalah penempatan pejabat pusat di daerah untuk melaksanakan tugas administratif; dan 3. Medebewind adalah pelibatan pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan pusat. Meskipun demikian dalam prakteknya konsep dekonsentrasi lebih dominan daripada desentralisasi sejati. Singkatnya, konsep embriotik otonomi daerah pada fase tersebut tanpa kedaulatan rakyat, Gubernur Jenderal masih berkuasa atas semua aspek pengelolaan tata pemerintahan.
Produk konstitusi terakhir kolonial tentang tata pemerintahan sipil yaitu Konstitusi Indischestaatregeling (ISR) 1925. ISR ditetapkan dalam Staatblad 1925 No. 447 pada 23 Juli 1925, diberlakukan pada 1 Januari 1926. Namun akhirnya ISR dicabut dan tidak berlaku lagi pada 27 Desember 1949, tanggal dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam peristiwa bersejarah Konferensi Meja Bundar (KMB). Pasal penting yang mengandung konsep embriotik “otonomi daerah” yaitu pasal 121, yaitu: “Kekuasaan yang lebih rendah dapat diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (zelfbestuur), dalam batas-batas yang ditetapkan oleh undang-undang.” Implikasinya terlihat pada pemerintahan daerah dapat membentuk verorderingan (Peraturan daerah), penguatan Gemeenteraad (Dewan Kota), Regentschapsraad (dewan kabupaten), Provinciale Raad (dewan provinsi). Konsep embriotik “Otonomi daerah” pada fase konstitusi ISR masih sama yaitu mewarisi karakteristik Desentralisasi Wet 1903 yaitu tanpa kedaulatan rakyat.
Pada bagian kedua tulisan ini penulis akan sajikan deskripsi produk kebijakan pemerintah pasca kemerdekaan Indonesia dalam bentuk UUD 1945 versi asli dan regulasi turunannya yang memperlihatkan konsep-konsep embriotik “otonomi daerah”.
Undang-Undang Dasar 1945 versi 1945 dan UU Turunan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 versi 1945/asli pertama kali disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Naskah ini terdiri dari tiga bagian utama: Pembukaan, Batang Tubuh (37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 aturan tambahan), dan Penjelasan. Naskah konstitusi ini merupakan tonggak utama dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Disahkan sehari setelah proklamasi kemerdekaan, UUD 1945 lahir sebagai wujud nyata kedaulatan bangsa yang baru merdeka.
Konsep embriotik “otonomi daerah” dirumuskan dalam pasal 18: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan mengingat dan menghormati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Pasal ini menyiratkan prinsip-prinsip pembangun konsep otonomi daerah di kemudian hari.
Pertama, pengakuan secara normatif terhadap keberagaman daerah. Pasal ini mengakui adanya daerah-daerah besar dan kecil, artinya pemerintah pusat mengakui keragaman bentuk administratif dan karakter daerah. Kedua, pembentukan daerah otonom melalui UU. Pada bagian ini otonomi daerah atau susunan pemerintahan daerah tidak dijelaskan secara rinci dalam UUD 1945 versi asli, tetapi diserahkan untuk diatur lebih lanjut lewat undang-undang. Ketiga, asas permusyawaratan, artinya pemerintahan daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi dan musyawarah, bukan sekedar perintah top-down dari pusat. Keempat, pengakuan hak asal-usul, artinya UUD 1945 versi asli menghormati hak-hak adat dan kekhususan daerah (seperti Yogyakarta, Aceh dan beberapa daerah lain) yang memiliki sejarah pemerintahan sendiri sebelum kemerdekaan.
Implikasi dari ketentuan pasal 18 tersebut lahirlah regulasi turunan dalam bentuk undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 (23 Agustus) tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Undang-undang ini memuat hanya 5 (lima) pasal namun dipandang sebagai awal mula pengaturan pemerintahan daerah, meskipun isinya belum mengatur secara penuh otonomi daerah, melainkan lebih pada peran Komite Nasional Daerah (KND) sebagai Lembaga perwakilan daerah. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa: “Di setiap daerah dibentuk Komite Nasional daerah (KND) yang mempunyai kedudukan sebagai badan perwakilan rakyat di daerah.” Lebih lanjut dalam pasal 2 ditetapkan bahwa: “KND berhak bertugas membantu kepala daerah dan ikut mengawasi jalannya pemerintahan daerah.” Dan pasal 3 menetapkan bahwa: “Cara membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.” Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini menunjukkan sifanya sebagai UU dalam kondisi transisional. Di dalamnya terkandung tekad awal pemerintah Republik Indonesia untuk menjalankan pemerintahan yang representatif/partisipatif dan demokratis yang diwujudkan dalam bentuk badan perwakilan, meskipun bentuknya masih transisional.
Di samping hal-hal tersebut di atas, pasal 18 dan pasal 23 dalam UUD 1945 versi 1945 juga secara implisit menjadi dasar perumusan kebijakan bagi pemerintah daerah secara otonom dalam hal mengelola keuangan daerah, dalam hal otonomi fiscal, hak mengelola sumber daya sendiri, kemampuan mengatur belanja dan pendapatan daerah berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku (lih. UU 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah dan UU penggantinya No. 1/1957, dan UU No. 5 / 1974).
Konstitusi RIS 1949
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah konstitusi yang menjadi dasar hukum negara Republik Indonesia Serikat, yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950. RIS disusun berdasarkan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KM) antara Indonesia, Belanda, dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO). BFO adalah organisasi politik bentukan Belanda yang mewakili negara-negara bagian dalam struktur federasi versi Belanda (misalnya Negara Bagian Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Banjar, Negara Dayak Besar, dll-isi pasal 2).
Konstitusi RIS memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai otonomi daerah dan pengelolaan keuangan daerah dalam truktur negera federal daripada konstitusi sebelumnya. Daerah-daerah bagian memiliki kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri dan mengelola keuangannya, dengan mekanisme pengawasan dan bantuan dari pemerintah federal untuk memastikan keseimbangan dan stabilitas keuangan di seluruh federasi.
Identitas negara Indonesia dalam formulasi konstitusi ini tertuang dalam pasal 1 ayat (1): “Republik Indonesia Serikat yang Merdeka dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”. Di samping itu, ketentuan tentang kedaulatan rakyat menentukan penguasa sudah dirumuskan dalam pasal 34: “Kemauan Rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa; kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan…menurut hak pilih…menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” Selanjutnya, pasal 64 ditetapkan: “Daerah-daerah swapradja yang sudah ada, diakui.” Selain pasal tersebut pasal 65 pada hakekatnya mengakui keberadaan daerah-daerah swapraja yang sudah ada dan mengatur kedudukan mereka dalam struktur federasi melalui kontrak dengan daerah-daerah bagian terkait.
Ketentuan tentang keuangan daerah diatur berdasarkan “otonomi daerah” dirumuskan dalam pasal 55 sampai pasal 61. Pasal 55 terdiri dari 4 ayat. Substansi yang terkandung pada pasal tersebut yaitu menentukan bahwa pendapatan federasi dan daerah-bagian diatur sedemikian rupa untuk mencapai perimbangan, sehingga baik Republik Indonesia Serikat (Pusat) maupun daerah-daerah bagian mampu membiayai penyelenggaraan pemerintahannya dari pendapatan sendiri. Bersambung…