JEJAK KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN APBD DI INDONESIA (Gemeente, Regentscap, Zelfbestuur, Volksraad) (Bagian I)
Decentralisatiewet 1903 atau Undang-Undang Desentralisasi 1903 merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 dengan menambahkan tiga pasal, yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Pasal 68a merumuskan kewajiban Pemerintah Pusat memberikan uang kepada Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dipercayakan kepada pemerintah daerah (Desentralisatie Ordonantie dan Indische Comptabiliteitswet/ Ordonansi Keuangan).
Pasal 68b mengatur tentang kewenangan pengawasan oleh Pemerintah Pusat, dan kewajiban Pemerintah Daerah membuat sistem laporan pertanggungjawaban berpedoman pada ordonansi. Pasal ini juga merumuskan kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman uang harus berdasarkan ordonansi yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.
Pasal 68c berbunyi: “Dewan-dewan yang dimaksud dalam ayat dua dari pasal 68b, berwewenang untuk memperjuangkan kepentingan daerah, untuk mana dibentuk, kepada Gubernur Jenderal.”
Undang-Undang Desentralisasi 1903 adalah tonggak hukum penting dalam sejarah administrasi lokal Indonesia. Meski bersifat terbatas dan kolonialistik, UU ini adalah cikal bakal sistem Pemerintahan Daerah dan APBD di masa Indonesia modern. Struktur lembaga, kewenangan fiskal, dan pembagian wewenang vertikal dalam UU ini menjadi dasar awal konsep Otonomi Daerah.
b.3. Indische Staatsregeling 1925
Indische Staatsregeling 1925 (IS) merupakan konstitusi Hindia Belanda yang mengatur struktur negara kolonial secara lebih sistematis dan semi-demokrasi. Di dalam IS diatur hal-hal semisal kewenangan Gubernur Jenderal (masih menjadi kepala pemerintahan tertinggi namun dalam hal keuangan kewenangannya dibagi/subordinasi). IS juga menetapkan asas Trias Politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif); menetapkan pembentukan gemeente (Kotapraja) dan regentschap (Kabupaten-Kecamatan-Desa/Kampung).
C. Penutup
Dalam sejarah pemerintahan kolonial Hindia Belanda tiga peraturan utama menandati transformasi bertahap dari sistem pemerintahan yang sangat terpusat menuju bentuk awas desentralisasi administrative yang terkontrol.
Dimulai dengan Regeringsreglement 1854, Pemerintah Belanda menetapkan kerangka hukum dasar bagi tata kelola Hindia Belanda. Dalam dokumen ini Gubernur Jenderal ditetapkan sebagai penguasa tunggal dengan memegang kekuasaan dan kewenangan legislative dan eksekutif. Konstitusi ini pula yang membentuk fondasi hukum lebih luas untuk melakukan eksploitasi.
Seiring meningkatnya kompleksitas administrasi dan tekanan dari kalangan Liberal Etis serta kebutuhan efisiensi birokrasi, muncullah Descentralisatiewet 1903. Konsep dasar desentralisasi birokrasi pemerintahan mulai dirumuskan di sini. Pemerintah lokal (gemeente) dan regentschap diakui memiliki kewenangan mengelola urusan rumah tangga sendiri (zelfbestuur).
Transformasi birokrasi pemerintahan (desentralisasi/otonomi daerah) mencapai puncaknya dalam Indische Staatsregeling 1925 (IS). IS memberi dasar hukum bagi pembentukan Volksraad (dewan rakyat) sebagai badan legislatif semi-permanen.
Tiga dokumen tersebut menunjukkan jejak evolusi bertahap dari kekuasaan absolut kolonial menuju birokrasi yang lebih kompleks dan terbagi. Fondasi penting untuk memahami dinamika awal otonomi daerah yang kemudian berkembang dalam fase Indonesia Merdeka. Bersambung…