Etika yang Retak di Negeri Penuh Pembenaran
Kita sering menyalahkan individu, tapi melupakan sistem yang membentuk mereka. Di banyak lembaga, ada “aturan tidak tertulis tentang bagaimana aliran dana harus dibagi, siapa yang mendapat bagian, dan berapa “hak informal” dari setiap proyek. Bahkan banyak aktor terjerumus bukan karena niat awal korup, tapi karena tekanan struktural. Jika tidak ikut, dianggap tidak loyal.
Ini menegaskan analisa David Graeber tentang bagaimana birokrasi modern menciptakan absurditas moral. Kita tahu sesuatu itu salah, tapi tetap melakukannnya karena sistem menuntut demikian. Maka bukan sekadar niat jahat, tapi struktur yang menjebakkan yang perlu dibongkar.
Ironi Publik dan Ketakutan akan Tidak Kebagian
Lebih ironis lagi, di tengah hujatan publik terhadap korupsi, kita menemukan nada getir. “Kenapa bukan saya yang dapat bagian? Artinya, korupsi bukan benar-benar dianggap salah, tapi dianggap sebagai arena ekslusif yang hanya bisa dinikmati segelintir orang . Moralitas publik pun direduksi menjadi rasa takut tidak kebagian.
Inilah etika yang retak. Korupsi ditolak bukan atas dasar prinsip, tapi karena aksesnya tertutup. Ia mencerminkan betapa rendahnya posisi etika dalam hierarki nilai kita. Sebuah bangsa yang moral publiknya dibangun di atas rasa tidak kebagian adalah bangsa yang berjalan menuju jurang keserakahan sistemik.
Siapa yang Masih Marah Karena Korupsi?
Kini pertanyaannya bukan lagi siapa yang korup, tapi siapa yang masih marah karena korupsi? Sebab kemarahan yang sejati muncul dari kekecewaan karena tidak ikut menikmati.
Esai ini bergerak dari hulu filsafat. Oleh karena itu, ia bukan hanya seruan untuk menolak korupsi, tapi ajakan untuk membongkar narasi-narasi pembenaran yang menormalisasikannya. Kita harus kembali pada etika publik yang tunduk pada kepentingan. Sebab jika moralitas terus dinegosiasikan, maka yang tersisa hanyalah akrobat lidah dan absurditas hati. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)

































