Etika yang Retak di Negeri Penuh Pembenaran
Oleh : Laurens Minipko
“Korupsi Tidak Buruk…”
TERLINTAS di beranda media FB saya sebuah video pendek yang seketika menarik perhatian. Dari sana terdengar gumaman yang hemat saya nyaris universal. “korupsi itu tidak buruk sejauh saya tidak terlibat, tetapi ketika saya terlibat saya akan membela diri”. Gumaman itu mengandung lebih dari sekadar lelucon getir. Ia adalah refleksi sosial tentang betapa fleksibelnya etika publik dalam menghadapi godaan kekuasaan. Moral bukan lagi prinsip, melainkan pilihan tergantung situasi, posisi, dan kepentingan.
Tidak jarang kita mendengar di ruang publik tuturan yang tegas. “Korupsi itu merusak bangsa.” Tapi diam-diam, kalimat itu menyimpan embel-embel yang terucap dalam bisikan lembut. “Selama aku tidak terlibat.” Sebab ketika seseorang mulai terlibat, narasinya berubah. “Ini bukan korupsi, ini hanya bagian dari sistem”; “Ini bukan salah saya, ini karena tekanan atasan”; “Ini bukan tindakan haram, ini demi keberlangsungan birokrasi”.
Moralitas yang Goyah dan Wajah Ganda Publik
Dalam psikologi sosial, terdapat istilah moral disengagement. Mekanisme ketika seseorang menanggalkan tanggung jawab etis karena merasa tindakannya sah dalam konteks tertentu. Ini terjadi di mana-mana. Dari aparatur desa yang “meminjam” dana Bansos, hingga pejabat tinggi yang mengatur tender proyek untuk kroni.
Pada titik ini, etika bukan lagi kompas yang menunjuk arah kebenaran, tapi seperti GPS yang bisa di-reset sesuai keinginan pengguna. Orang yang lantang berteriak anti korupsi bisa dengan cepat menyusun narasi pembenaran saat dirinya terseret. Itulah wajah ganda kita. Mencela dari jauh, tapi membela dari dalam.
Korupsi dan Politik Bahasa
Filsuf J.L. Austin menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat menyampaikan makna, tapi juga tindakan, speech acts. Maka ketika seorang pejabat berkata, “ini bukan korupsi, ini bentuk gotong royong birokrasi,” itu bukan sekadar kalimat. Itu tindakan membentuk realitas baru. Bahasa digunakan untuk mengaburkan makna, meredam tuduhan dan menciptakan ambiguitas moral.
Foucault menambahkan bahwa kuasa bekerja melalui produksi kebenaran. Artinya, yang disebut korupsi bisa dinegosiasi, dimaknai ulang, atau bahkan dilenyapkan dari kamus publik jika pelakuknya cukup kuat memegang narasi . Di titik ini, kita berhadapan bukan dengan tindakan pidana biasa, melainkan kekuasaan simbolik yang mengatur persepsi.
Sistem yang Membentuk Pelaku
Kita sering menyalahkan individu, tapi melupakan sistem yang membentuk mereka. Di banyak lembaga, ada “aturan tidak tertulis tentang bagaimana aliran dana harus dibagi, siapa yang mendapat bagian, dan berapa “hak informal” dari setiap proyek. Bahkan banyak aktor terjerumus bukan karena niat awal korup, tapi karena tekanan struktural. Jika tidak ikut, dianggap tidak loyal.
Ini menegaskan analisa David Graeber tentang bagaimana birokrasi modern menciptakan absurditas moral. Kita tahu sesuatu itu salah, tapi tetap melakukannnya karena sistem menuntut demikian. Maka bukan sekadar niat jahat, tapi struktur yang menjebakkan yang perlu dibongkar.
Ironi Publik dan Ketakutan akan Tidak Kebagian
Lebih ironis lagi, di tengah hujatan publik terhadap korupsi, kita menemukan nada getir. “Kenapa bukan saya yang dapat bagian? Artinya, korupsi bukan benar-benar dianggap salah, tapi dianggap sebagai arena ekslusif yang hanya bisa dinikmati segelintir orang . Moralitas publik pun direduksi menjadi rasa takut tidak kebagian.
Inilah etika yang retak. Korupsi ditolak bukan atas dasar prinsip, tapi karena aksesnya tertutup. Ia mencerminkan betapa rendahnya posisi etika dalam hierarki nilai kita. Sebuah bangsa yang moral publiknya dibangun di atas rasa tidak kebagian adalah bangsa yang berjalan menuju jurang keserakahan sistemik.
Siapa yang Masih Marah Karena Korupsi?
Kini pertanyaannya bukan lagi siapa yang korup, tapi siapa yang masih marah karena korupsi? Sebab kemarahan yang sejati muncul dari kekecewaan karena tidak ikut menikmati.
Esai ini bergerak dari hulu filsafat. Oleh karena itu, ia bukan hanya seruan untuk menolak korupsi, tapi ajakan untuk membongkar narasi-narasi pembenaran yang menormalisasikannya. Kita harus kembali pada etika publik yang tunduk pada kepentingan. Sebab jika moralitas terus dinegosiasikan, maka yang tersisa hanyalah akrobat lidah dan absurditas hati. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)