Empirisme dan Krisis Persepsi: Membaca Kelangkaan BBM di Timika (Refleksi Filsafat Lock, Berkeley dan Hume)
Oleh : Laurens Minipko
KELANGKAAN Bahan Bakar Minyak (BBM) di Timika bukan lagi “pengalaman personal” melainkan “pengalaman kolektif.” Dalam tiga hari terakhir, masyarakat di Kota Timika mengalami kelangkaan BBM (terutama untuk jenis pertamax dan pertalite) yang memuncak. Di berbagai grup WhatsApp warga, percakapan tentang antrean panjang, harga eceran yang melambung, dan ketidakhadiran pihak berwenang menjadi pemandangan yang menohok perhatian kolektif.
Fenomena ini bukan sekadar peristiwa ekonomi, tetapi juga peristiwa pengetahuan. Bagaimana masyarakat memahami realitas, menafsir sebab-akibat, dan membangun persepsi tentang “negara” dari pengalaman yang mereka alami sendiri.
Untuk membaca fenomena ini, kita dapat menggunakan tiga kerangka empirisme klasik: John Lock, George Berkeley, dan David Hume. Ketiganya menegaskan bahwa sumber segala pengetahuan bukanlah dogma atau ide bawaan, melainkan pengalaman inderawi dan persepsi manusia.
Pengalaman sebagai Sumber Pengetahuan (John Lock)
John Lock (1632-1704) menolak gagasan bahwa manusia lahir dengan ide bawaan (innate ideas). Bagi Lock, pikiran manusia adalah tabula rasa, yaitu lembar kosong yang kemudian diisi oleh pengalaman.
Dalam konteks kelangkaan BBM di Timika, pengalaman empris masyarakat menjadi sumber pengetahuan sosial:
1. “Harga bensin 1 botol Aqua besar Rp 45.000”
2. “Pertalite kosong, saya sudah taputar cari di tiga SPBU.”
Ungkapan-ungkapan ini adalah data empiris murni. Ia lahir dari pengalaman inderawi warga: melihat antrean, mencium bau bensin yang jarang, mendengar keluhan sesama. Dalam pandangan Locke, pengalaman-pengalaman semacam ini membentuk “ide sederhana” yang kemudian digabungkan menjadi “ide kompleks” tentang ketidakadilan distribusi atau lemahnya peran pemerintah.
Krisis BBM, dengan demikian, bukan hanya krisis energi, tetapi juga krisis pengetahuan publik, karena warga membangun pemahaman mereka tentang negara dari pengalaman empiris yang menyakitkan.
“Ada adalah Dipersepsi” (Berkeley)
George Berkeley (1685-1753) membawa empirisme Locke ke ranah yang lebih radikal. Ia menyetakan, esse est percipi: “ada adalah dipersepsi.” Menurutnya, realitas tidak dapat dipisahkan dari kesadaran yang mempersepsinya.
Bila diterapkan pada situasi Timika, pandangan ini menyingkapkan sesuatu yang menarik: Masyarakat mempersepsi bahwa negara tidak hadir karena mereka tidak melihat tindakan nyata yang mengatasi kelangkaan. Dengan kata lain, keberadaan negara di ruang publik menghilang secara ontologis dalam persepsi warga.
Dalam dunai Berkeleyan, sesuatu “ada” sejauh ia dipersepsi. Maka ketika SPBU kekurangan hingga kehabisan BBM, antrean tak terkendali, dan aparat tak tampak, “negara” lenyap dari kesadaran kolektif. Ia tidak lagi “ada”, karena tidak dipersepsi sebagai penolong, melainkan sebagai absensi.




















































