Oleh: Johanes Eliezer Samsong Wato (Peneliti doktoral di Bonn International Graduate School – Oriental and Asian Studies (BIGS-OAS), University of Bonn, Jerman)

KABUPATEN Mimika, yang terletak di Papua, Indonesia, adalah wilayah yang kaya budaya dan sejarah, dengan dua suku besar pemilik hak ulayat, yakni Amungme dan Kamoro. Sejak berdirinya kabupaten ini, semboyan Eme Neme Yauware (ENY) telah menjadi simbol persatuan dan kekuatan kolektif masyarakat. Namun, belakangan muncul gagasan baru dari pemerintah daerah untuk memperkenalkan semboyan tambahan: Mimika Rumah Kita, sebuah frasa yang dianggap lebih inklusif dan mencerminkan semangat kebersamaan universal.

Gagasan ini memunculkan pro dan kontra, karena Eme Neme Yauware tidak hanya dipandang sebagai semboyan, tetapi juga sebagai filosofi hidup yang diwariskan turun-temurun. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan tentang identitas, eksistensi budaya, dan arah pembangunan Kabupaten Mimika ke depan.

”SADAR

Apa jadinya jika sebuah rumah dibangun tanpa fondasi? Atau jika masyarakat tiba-tiba diminta mengganti akar identitasnya hanya karena alasan modernisasi? Inilah yang sedang terjadi di Kabupaten Mimika. Di balik jargon baru ‘Mimika Rumah Kita’, terselip kegelisahan mendalam: siapa yang berhak menentukan arah masa depan tanah ini, pemerintah, pendatang, atau masyarakat adat sebagai pemilik sah tanah dan sejarahnya?

Eme Neme Yauware bukan sekadar semboyan tradisional. ia adalah filosofi hidup yang menuntun masyarakat  Amungme dan Kamoro melewati masa-masa sulit berabad-abad. Maka, ketika jargon baru yang katanya lebih inklusif diperkenalkan, banyak yang bertanya: Apakah kita sedang membangun kebersamaan, atau justru menghapus jejak budaya lokal perlahan?

Di tengah deretan perusahaan tambang dan proyek industri besar, masyarakat adat Mimika justru semakin terpinggirkan. Bukan karena mereka tidak mampu, melainkan karena tidak diberi ruang menjadi subjek pembangunan. Sebelum bicara soul branding, tagline, atau kota cerdas, mari kita bertanya: Apa arti rumah bagi masyarakat adat, dan siapa yang sebenarnya membangunnya?

Tulisan ini mengajak kita melihat kembali bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga soal keberanian menjaga filosofi hidup sebagai fondasi moral, spiritual, dan sosial masyarakat Mimika.

 Makna Filosofis Eme Neme Yauware

Dalam bahasa Amungme dan Kamoro, Eme Neme Yauware berarti Bersatu, Bersaudara, Membangun. Filosofi ini adalah sistem nilai hidup yang dianut masyarakat adat. Ia mewakili pentingnya gotong royong, keseimbangan relasi antarmanusia, serta keharmonisan dengan alam dan leluhur.

Suku Amungme yang tinggal di pegunungan dan suku Kamoro di pesisir telah lama hidup berdampingan dengan prinsip kolaborasi dan saling menghormati. Nilai-nilai ini termanifestasi dalam struktur sosial, adat, dan rumah adat mereka seperti Karapao dan Honai, yang melambangkan tempat berkumpul yang harmonis, rumah sejati dengan aturan moral, tata tertib sosial, dan nilai spiritual.

Mengubah semboyan ini bukan sekadar soal bahasa, melainkan berisiko merombak nilai dasar yang telah membentuk pola pikir dan cara hidup masyarakat Mimika selama berabad-abad.

Kritik Terhadap “Mimika Rumah Kita”

Pengenalan jargon ‘Mimika Rumah Kita’ oleh Pemerintah Kabupaten Mimika menuai kritik keras. Rafael Taurekeyau, Ketua Aliansi Pemuda Kamoro (APK), menegaskan penolakannya. Menurutnya, Eme Neme Yauware adalah harga diri dan simbol sah milik masyarakat Amungme dan Kamoro. Menggantinya adalah bentuk pengaburan sejarah dan identitas budaya (CEPOS, 18/09/2025).

Tokoh adat Kamoro, Laurens Minipko, menyebut rumah sejati bagi masyarakat Mimika adalah Karapao dan Honai yang berdiri atas nilai Eme Neme Yauware. Rumah yang kuat harus memiliki aturan moral dan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur. Nilai-nilai ini tidak bisa diganti hanya dengan istilah baru yang belum berakar budaya.

Anggota DPR Papua Tengah asal Mimika, Urbanus Beanal, menegaskan bahwa Mimika bukan tanah kosong yang bisa diberi identitas baru sesuka hati.

“Nama Eme Neme Yauware memiliki makna dan sejarah bagi masyarakat asli Mimika. Jangan diganti hanya karena kepentingan sesaat” (CEPOS, 16/09/2025).

Respons Pemerintah

Bupati Mimika, Johannes Rettob, menegaskan bahwa Eme Neme Yauware tidak pernah diganti. Menurutnya, Mimika Rumah Kita hanyalah tagline program, bukan moto pengganti.

“Eme Neme Yauware tetap semboyan resmi Kabupaten Mimika. Ini adalah warisan dan filosofi hidup masyarakat Amungme-Kamoro yang tidak mungkin dihapus” (CEPOS, 18/09/2025).

Pj. Sekda Mimika, Abraham Kateyau, juga menegaskan hal yang sama. Ia menyebut anggapan bahwa Eme Neme Yauware diganti atau dihapus adalah keliru dan salah besar.