Filsuf J.L. Austin menyebut ini sebagai speech act: ucapan yang tidak hanya mendeskripsikan realitas, tetapi menciptakan realitas. Ketika seorang wali kota berkata begitu, ucapan itu bisa menjadi perintah tidak langsung bagi aparat, pengusaha kos-kosan, bahkan masyarakat untuk bersikap diskriminatif.

Judith Butler memperluas teori ini: tuturan pejabat memperkuat posisi dominan kota atas gunung, pesisir atas hulu, elite atas rakyat.

Dalam bingkai Foucaultian, ucapan tersebut adalah bagian dari regime of truth yaitu menentukan siapa yang berhak atas kota, dan siapa yang layak disingkirkan. Kata-kata itu bekerja meski tidak ada SK, karena ia keluar dari mulut penguasa. Dan kekuasaan, seperti kata Foucault, bukan hanya pada yang tertulis, tapi pada yang didengar, diyakini benar dan ditaati.

Kota bukan milik satu identitas

Di tengah wacana pemulangan, kita harus bertanya: siapa yang dianggap sah tinggal di kota? Siapa yang bisa bicara, dan siapa yang harus diam

Jayapura bukan milik satu etnis. Kota ini lahir dari arus migrasi, pertukaran budaya, dan sejarah konflik. Semua itu dibangun oleh lebih dari satu etnis, pantai gunung, utara dan selatan serta timur dan barat. Maka ketika seseorang ingin memulangkan kelompok tertentu hanya karena aksinya bersuara di jalan, ia sedang menghancurkan dasar hidup bersama, kesetaraan kewargaan dan hak atas ruang.

Tubuh orang gunung dengan logatnya, kulitnya, gayanya yang tegas adalah bagian dari kota. Mereka berhak bicara. Dan jika bicara itu dianggap ancaman, maka bukan mereka yang salah, tapi kekuasaan yang gagal mendengar.

Kata, Kuasa dan Tubuh

Hari ini kita menyaksikan bagaimana satu ucapan bisa mengubah nasib. Bahasa bukan lagi tempat diskusi, tapi alat represi. Tubuh bukan lagi warga, tapi simbol ketertiban atau gangguan. Namun sejarah juga mengajarkan. Tubuh yang dibungkam akan bicara dengan cara lain. Bahasa kuasa selalu bisa dilawan dengan bahasa rakyat, bahasa pena, bahasa hak. Jika “kota” ingin damai, maka dengarkan suara dari gunung karena dari sanalah kejujuran biasanya datang, keras tapi jernih. **

Oleh: Laurens Minipko
(Isi tulisan tanggung jawab penulis)