Dalam kehidupan sosial, kata-kata bukan sekdar bunyi. Ia adalah tindakan. Ketika seorang pejabat menyatakan sesuatu, bahkan hanya secara lisan,  ia tidak hanya sedang bermain dengan suara (terkesan tegas, berani dan benar). Ia sesungguhnya sedang membentuk realitas. Di sinilah letak pentingnya memahami tuturan sebagai fakta sosial, yaitu segala sesuatu yang berada “di luar individu” namun mempengaruhi perilaku individu (Durkheim).

Tuturan publik, terutama dari tokoh atau pejabat, adalah fakta sosial yang mengatur, membentuk, bahkan memaksa sikap masyarakat. Mengingat kedudukan tuturan sebagai fakta sosial, ia terbuka dibaca, dimaknai, dikritisi, direkonstruksi. Refleksi  singkat ini merupakan upaya pemaknaan secara kritis atas “tuturan seorang pejabat.”

Tuturan itu sinyal kuasa

Ketika seorang pejabat publik menyatakan secara lisan bahwa “orang gunung akan dipulangkan”, banyak orang mungkin menganggap itu hanya reaksi emosional dalam rapat, begitu pula tanggapan atasnya umunmnya atau bahkan cenderung emosial. Namun di tanah yang sudah lama penuh luka sosial seperti Papua, ucapan pejabat bukan sekadar suara, ia adalah instruksi, sinyal kuasa, bahkan perintah tidak tertulis.

”MTQ

Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa atau pemuda gunung di kota seperti Jayapura, sering dianggap oleh elite lokal sebagai tindakan yang “tidak tahu diri”. Maka, pemulangan atau deportasi menjadi solusi politik yang bersembunyi di balik retorika ketertiban. Tubuh orang gunung pun kembali menjadi sasaran kontrol kekuasaan lewat tuturan yang diperdengarkan di depan publik.

Tuturan Pemulangan  dalam Kaca Mata Kritis

Dalam teori Michel Foucault, kekuasaan modern bekerja bukan hanya melalui larangan dan kekerasan, tetapi lewat disiplin tubuh menentukan siapa yang layak berada di ruang tertentu dan bagaimana mereka harus bersikap. Dalam konteks Papua, tubuh orang gunung, terutama ketika hadir dalam jumlah besar saat demonstrasi terlihat terlalu mencolok secara politik.

Tubuh ini telah ditandai sejak lama. Dalam warisan kolonial Belanda, masyarakat pegunungan dianggap “belum beradab” dan “belum terjamah”. Pandangan itu terus hidup dalam stigma baru: mereka keras, brutal, kasar, dan beringas. Maka ketika mereka turun ke kota, terlebih bersuara di jalanan, kota merasa terancam.

Frantz Fanon, dalam Black Skin, White Masks, menyebut tubuh kulit hitam di dunia kolonial sebagai tubuh yang dibebani makna. Bahkan sebelum berbicara, ia sudah dianggap bersalah. Demikian juga dengan orang gunung: tubuh mereka sudah diasosiasikan dengan kekacauan, bahkan sebelum mereka bicara.

Ketika pemuda gunung berdemonstrasi dengan anarkis, negara merespons dengan konstruksi bahasa pemulangan ke daerah asal. Tindakan ini seolah administratif tapi sejatinya politis. Ia menjadi bentuk pengusiran yang menggunakan tubuh sebagai dasar keputusan. Masalahnya bukan pada isi demonstrasi, tapi pada siapa (tubuh) yang berdemonstrasi.

Pierre Bourdieu dalam teorinya tentang habitus dan kapital simbolik, menjelaskan bahwa tubuh juga menyimpan sejarah. Ia membawa logika kampung, suara gunung, cara berpikir tersendiri. Maka ketika hadir di kota, tubuh ini tidak hanya asing, tapi juga subversif: ia menantang dominasi simbolik yang dibangun kekuasaan kota. Kota hanya menerima tubuh-tubuh yang rapi, tenang, patuh. Tubuh gunung karena keras, bebas, dan tidak tunduk lalu ditolak.

Kekuasaan dalam Tutur: Bahasa adalah Tindakan

Kini kita masuk ke inti: pernyataan lisan wali kota yang menyebut bahwa “orang gunung akan dipulangkan.” Meski belum dituangkan dalam surat resmi, ucapan ini sudah bekerja secara politis, psikologis dan sosial. Ia telah menciptakan kegelisahan, ketakutan, dan penindasan simbolik.

Filsuf J.L. Austin menyebut ini sebagai speech act: ucapan yang tidak hanya mendeskripsikan realitas, tetapi menciptakan realitas. Ketika seorang wali kota berkata begitu, ucapan itu bisa menjadi perintah tidak langsung bagi aparat, pengusaha kos-kosan, bahkan masyarakat untuk bersikap diskriminatif.

Judith Butler memperluas teori ini: tuturan pejabat memperkuat posisi dominan kota atas gunung, pesisir atas hulu, elite atas rakyat.

Dalam bingkai Foucaultian, ucapan tersebut adalah bagian dari regime of truth yaitu menentukan siapa yang berhak atas kota, dan siapa yang layak disingkirkan. Kata-kata itu bekerja meski tidak ada SK, karena ia keluar dari mulut penguasa. Dan kekuasaan, seperti kata Foucault, bukan hanya pada yang tertulis, tapi pada yang didengar, diyakini benar dan ditaati.

Kota bukan milik satu identitas

Di tengah wacana pemulangan, kita harus bertanya: siapa yang dianggap sah tinggal di kota? Siapa yang bisa bicara, dan siapa yang harus diam

Jayapura bukan milik satu etnis. Kota ini lahir dari arus migrasi, pertukaran budaya, dan sejarah konflik. Semua itu dibangun oleh lebih dari satu etnis, pantai gunung, utara dan selatan serta timur dan barat. Maka ketika seseorang ingin memulangkan kelompok tertentu hanya karena aksinya bersuara di jalan, ia sedang menghancurkan dasar hidup bersama, kesetaraan kewargaan dan hak atas ruang.

Tubuh orang gunung dengan logatnya, kulitnya, gayanya yang tegas adalah bagian dari kota. Mereka berhak bicara. Dan jika bicara itu dianggap ancaman, maka bukan mereka yang salah, tapi kekuasaan yang gagal mendengar.

Kata, Kuasa dan Tubuh

Hari ini kita menyaksikan bagaimana satu ucapan bisa mengubah nasib. Bahasa bukan lagi tempat diskusi, tapi alat represi. Tubuh bukan lagi warga, tapi simbol ketertiban atau gangguan. Namun sejarah juga mengajarkan. Tubuh yang dibungkam akan bicara dengan cara lain. Bahasa kuasa selalu bisa dilawan dengan bahasa rakyat, bahasa pena, bahasa hak. Jika “kota” ingin damai, maka dengarkan suara dari gunung karena dari sanalah kejujuran biasanya datang, keras tapi jernih. **

Oleh: Laurens Minipko
(Isi tulisan tanggung jawab penulis)