Cermin yang Retak di Senayan
Oleh : Laurens Minipko
KASUS yang menimpa DPR-RI, dengan segala sorotan publik tentang perilaku, etika, dan moralitas anggota dewan, sebenarnya bukan sebatas kisah di tingkat pusat. Ia adalah cermin besar tempat daerah, pemerintah daerah, DPRD, dan para pemangku kepentingan daerah, serta rakyat sumber mandat bisa bercermin. Pertanyaan filosofisnya: apa arti mandat dan bagaimana legitimasi dijaga?
Dalam filsafat politik klasik, mandat selalu berhubungan dengan kontrak sosial. Jean-Jacques Rousseau menulis: kekuasaan sah hanya jika berasal dari kehendak umum rakyat. Tetapi legitimasi bukan berhenti pada “dipilih rakyat” atau ditentukan berdasarkan basis kesukuan (Otsus), ia mesti dirawat dengan tindakan yang bermoral, etis, dan berpihak pada kepentingan publik.
Mandat: Titipan Rakyat yang Rapuh
Mandat bukanlah hak milik abadi, melainkan titipan yang rapuh. Rakyat di daerah memilih para wakilnya bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk menyalurkan aspirasi, mengawasi eksekutif, dan menyusun regulasi yang berpihak.
Namun, mandat bisa menguap bila wakil mengabaikan dan lupa lengkingan jeritan rakyat. Sejarah politik Indonesia, baik di pusat maupun daerah, mencatat betapa banyak kursi legislatif diisi oleh mereka yang sibuk membangun jaringan kuasa, lupa pada rakyat yang menderita. Mandat yang diabaikan itu menimbulkan krisis kepercayaan.
Legitimasi: Lebih dari Hanya Surat Keputusan KPU
Secara formal, legitimasi memang diperoleh melalui Pemilu. Tetapi secara etis, legitimasi harus terus diperbarui lewat integritas, transparan, dan pelayanan. Legitimasi adalah hubungan kepercayaan: di mana jika rakyat tidak percaya lagi, maka kursi dewan hanyalah bangku kosong tanpa jiwa.
Di daerah, legitimasi DPRD diuji setiap hari. Apakah dewan benar-benar hadir saat rakyat menghadapi masalah tanah ulayat (konflik agraria), pencemaran lingkungan tambang, pendidikan anak kampung yang tertinggal, dan pelayanan kesehatan yang timpang?, dan berbagai masalah lokal. Atau mereka hanya hadir saat sidang paripurna dan perjalanan dinas?
Etika Politik: Dari Cermin Senayan ke Tanah Papua
Kasus DPR-RI menunjukkan betapa etika sering dikalahkan oleh politik transaksional berbasis kuasa dan modal. Bagi DPRD di tanah Papua, ini harus menjadi peringatan dini. Jangan sampai dewan di daerah mengulang skenario pengkhianatan mandat rakyat yang sama.
Etika politik bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga moralitas publik. Seorang anggota dewan yang pulang kampung, mendengar jeritan mama-mama Papua di pasar dan lapak, atau menyaksikan anak-anak sekolah dengan seragam lusuh, atau remaja yang hanya mampu berjualan pinang dan tidak dapat bersekolah, sedang diuji etikanya: apakah ia benar-benar peduli, atau hanya mencari panggung?
Filsafat Mandat dan Legitimasi

































