Dalam praktik nepositmse, kita melihat bagaimana anak muda Papua yang sekolah tinggi kadang tersingkir oleh “orang dalam”.
Mama-mama di pasar tahu betul, siapa yang bisa akses bantuan, dan siapa yang harus sabar karena tidak punya ‘koneksi’. Inilah kekerasan tidak kasat mata yang terjadi setiap hari. Kekerasan ini tidak terdengar, tapi menyakitkan.

Satu poster, banyak suara

Tulisan “Kami LAWAN” ditulis dengan huruf merah tebal. Ini bukan sekadar gaya visual. Ini simbol perlawanan terhadap sistem yang sudah lama dianggap “biasa”. Ia menyuarakan ketidakadilan, tapi sekaligus menyusun makna baru dari ruang yang selama ini sepi dari tafsir rakyat kecil.

Paul Ricoeur, filsuf hermeneutika, mengatakan bahwa simbol itu “memeri untuk dipikir”. Maka tulisan di poster itu bukan hanya ekspresi, tapi simbol yang mengandung makna sosial-politik yang dalam. Tulisan di tangan perempuan Papua itu meminta kita untuk berpikir.

Dari lapak ke ruang tafsir

Foto itu diambil mungkin di pinggir jalan, atau di depan kantor pemerintah. Tapi ia sekarang hidup di layar ponsel kita, di ruang obrolan warung kopi, di rapat-rapat kecil, dan kini…di tulisan ini.

Jangan remehkan selembar tertas, sebaris tulisan tangan dan sepuluh jari mama Papua yang menggenggamnya. Di situ terkandung luka yang tidak diakui oleh seperangkat sistem nepotisme, kekuatan yang tidak bisa dibungkam, dan tafsir baru yang sedang lahir. Lahir dari rahim jiwa mama Papua, dari lapak, dari tubuh yang selama ini dianggap tidak penting. Sudah waktunya kita dengar mereka. Bukan sebagai objek belas kasihan tapi sebagai subjek nalar politik lokal. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)