Oleh : Laurens Minipko

DI RUANG-RUANG sidang DPRK yang sunyi dari pengawasan warga, anggaran bisa dipelintir menjadi kekuasaan. Salah satu bentuk anggaran yang paling lentur dan paling rentan diselewengkan adalah block grant. Dana yang turun dari pusat ke daerah ini diberikan tanpa batasan yang ketat, dengan dalih memberi keleluasaan agar pemerintah daerah bisa menyusun prioritas sesuai kebutuhan lokal.

Namun, benarkah fleksibilitas itu menjamin keadilan dan efektivitas? Atau justru menjadi pintu masuk bagi penguasa lokal untuk memainkan anggaran demi kepentingan politik dan jejaringan patronase?

”MTQ

Dana Fleksibel, Kuasa Tanpa Sekat

Dalam teori desentralisasi fiskal, block grant dianggap sebagai simbol kepercayaan pusat kepada daerah. Tetapi kepercayaan tanpa pengawasan bisa berubah menjadi kekacauan, dan di sana lahirnya kekuasaan tidak tersentuh. Kita tahu, banyak pemerintah daerah masih dikuasai oleh elite politik yang mengaburkan batas antara anggaran publik dan agenda privat.

Block grant bisa menjadi alat untuk membangun jembatan, sekolah, atau rumah sakit. Tapi dalam praktiknya, ia sering kali justru membangun “istana senyap” bagi oligarki lokal. Proyek siluman, penggelembungan anggaran, program fiktif, hingga dana hibah yang tidak jelas tujuannya. Semua itu terlindungi oleh satu kalimat sakti. “Ini urusan daerah, pusat jangan ikut campur”.

Ketika Pengawasan Tidak Berdaya

Masalahnya bukan hanya pada dananya, tapi pada sistem pengawasan yang ompong. Inspektorat daerah kerap tidak independen. DPRK, seharusnya mengawasi, malah sering terlibat dalam kompromi anggaran. Sementara masyarakat sipil dan media lokal sering kali dibungkam atau tidak diberi akses pada informasi dasar tentang alokasi dan realisasi dana block grant.

Dalam banyak kasus, masyarakat hanya tahu setelah bangunan mangkrak, atau program bantuan tidak pernah menyentuh warga miskin dan nelayan di sungai dan laut, mama di pasar, anak sekolah, pemuda di posko. Sayangnya, saat itu semuanya sudah terlambat. Uangnya sudah habis. Laporan sudah selesai disusun dan dilaporkan. Rakyat tinggal menghitung kerugian dalam diam.

Jalan Keluar: Dari Transparansi ke Partisipasi 

Kita perlu membalik kekuasaan anggaran. Block Grant tidak boleh hanya menjadi hak eksekutif daerah, tapi harus dipertanggungjawabkan secara publik.

Berikut beberapa solusi konkrit:

1. Bangun platform anggaran digital terbuka, tempat masyarakat bisa melacak setiap rupiah block grant. Kemana alirannya, siapa pelaksananya, dan apa dampaknya. Data ini harus disajikan dalam bahasa yang sederhana, bukan dokumen teknis 400 halaman.

2. Perkuat Inspektorat Daerah sebagai pengawas internal. Tapi jangan biarkan mereka bekerja dalam gelap. Setiap hasil audit harus dipublikasikan, dan bisa diuji silang oleh warga dan jurnalis.

3. Libatkan masyarakat secara aktif.

Bentuk forum warga pengawas anggaran. Adakan Musrembang yang benar-benar dialogis, bukan seremoni formalitas. Beri ruang bagi suara perempuan, pemuda, dan kelompok adat dan agama untuk menentukan arah pembangunan.

4. Dorong audit independen berkala oleh BPK dan KPK, terutama di daerah rawan korupsi. Audit ini harus dilandasi kebenaran, bukan sekadar prosedur.

5. Ciptakan sistem insentif dan sanksi yang adil. Daerah yang akuntabel diberi penghargaan fiskal, sementara yang menyimpang diberi sanksi tegas, termasuk pemotongan anggaran dan penyelidikan hukum.

Menolak Dana yang Buta

Block grant adalah peluang, tapi juga jebakan. Ia bisa mempercepat kebangkrutan etika politik daerah. Semua tergantung pada sejauh mana rakyat bisa mengawasi, bertanya, dan menuntut pertanggungjawaban.

Dana block grant bersifat fleksibel dan berbasis kebutuhan lokal. Kebutuhan lokal hanya bisa dikenali melalui partisipasi kelompok masyarakat. Oleh karena itu, jika tidak ada proses partisipasi tidak melibatkan mama-mama pasar, pemuda kampung, nelayan, tokoh adat dan agama, maka bisa dipahami bahwa block grant dikelola tanpa dasar yang benar.

Di negeri yang katanya demokratis, dana publik bukan milik pejabat, tapi milik rakyat. Dan tidak ada demokrasi yang sehat jika uang rakyat dikelola tanpa pengawasan rakyat itu sendiri. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)