Etika Anggaran: Suara Sunyi Anak Kampung

Filsuf Emmanuel Levinas menyatakan bahwa etika dimulai dari perjumpaan dengan wajah-wajah orang lain. Dalam konteks Mimika, wajah itu adalah anak-anak yang berjalan kaki berjam-jam ke sekolah, guru honorer yang bertahan dengan gaji minim, atau mama-mama yang jual pinang demi beli seragam.

Etika anggaran artinya menempatkan wajah-wajah itulah sebagai pusat pertimbangan, bukan hanya grafik dan realisasi belanja. Ruang perumusan peruntukannya harus terbuka diakses oleh publik.

Mandatory Spending: Ketika Kewajiban Hukum Tidak Menjamin Keadilan

Meski tampak besar, anggaran Pendidikan Mimika sebenarnya belum memenuhi mandatory spending 20% yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003. Dengan total APBD sekitar 6,4 triliun, maka semestinya pendidikan mendapat Rp. 1,8 triliu. Namun realisasinya hanya Rp.1,1 triliun (sekitar 17, 26%). Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi kegagalan memenuhi keadilan dasar. Dalam bahasa John Rawls, negara gagal mendistribusikan sumber daya ke sektor yang menjadi hak semua warga, terutama yang paling rentan.

Transparansi: Dari Etika Wajah ke Kuasa Pengetahuan

Transparansi bukan sekadar unggahan dokumen PDF di laman OPD. Ia adalah komitmen moral dan politik untuk membuka ruang partisipasi rakyat. Dalam pandangan Habermas, ruang publik harus menjadi arena wacana rasional dan setara. Dan Foucault mengingatkan: Siapa yang berhak tahu, itulah yang memegang kuasa.

Maka rakyat Mimika, orang tua, siswa, guru honorer, masyarakat adat, dan berbagai elemen sosial lainnya harus diberi akses bermakna terhadap bagaimana dana itu dirumuskan, digunakan, dievaluasi. Melalui forum kampung, infografis lokal, atau kurikulum yang membekali siswa dengan pengetahuan kritis tentang anggaran.

Dari Angka ke Makna

Anggaran Rp. 1,1 triliun bisa menjadi tonggak sejarah, atau bisa juga menjadi jejak kehampaan. Semua tergantung dari bagaimana kita memaknainya. Apakah sebagai nalar pembebasan, atau sekadar anggaran yang membisu dan bahkan ditabuhkan.

Pendidikan bukan hanya urusan gedung dan serapan dana, tapi soal relasi kuasa, nilai, dan keberpihakan. Maka pertanyaan filsafat yang penting untuk Mimika hari ini adalah. Apakah angka besar itu menghadirkan keadilan, atau justru menyembunyikan mereka yang paling layak disuarakan? (Isi tulisan tanggung jawab penulis)