Oleh : Laurens Minipko

“Ketika anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika menembus angka triliunan, kita perlu bertanya bukan hanya tentang ke mana uang itu pergi, atau bagaimana uang itu mengalir ke muara, tetapi siapa yang sungguh-sungguh diikutsertakan dalam menyusun masa depan bersama di tanah ini.”

Hujan Angka di Langit Pendidikan

”MTQ

DI TENGAH langit Mimika yang sering kelabu oleh hujan tropis dan kabut pembangunan, muncul satu angka yang mencolok: Rp. 1,1 triliun dialokasikan untuk sektor pendidikan dalam APBD Kabupaten Mimika tahun 2025. Alokasi dana tersebut, karena menyangkut hajat hidup sosial, maka ia terbuka dibaca dan dimaknai sebagai sumbangan pemikiran untuk penyempurnaan dan kebermanfaatannya.

Banyak pihak yang menyambut angka ini sebagai tanda kemajuan. Tapi bila kita memakai kaca mata filsafat, kita justru diajak bertanya lebih dalam. Apakah angka sebesar itu mengandung roh keadilan, atau justru menjadi kabut yang menutupi kegagalan struktural?

Pendidikan dan Kuasa Angka 

Michel Foucault mengajarkan bahwa kuasa tidak selalu hadir lewat larangan atau paksaan, tapi melalui apa yang disebutnya sebagai “produksi wacana.” Anggaran besar bisa menjadi alat kuasa jika hanya dimaknai sebagai prestasi teknokratis belaka.

Jika rakyat tidak tahu ke mana uang pendidikan digunakan, atau tidak diikutsertakan dalam perumusannya, maka dana triliunan itu berubah menjadi alat peminggiran baru, sehalus table-tabel excel.

Pendidikan dan Nilai

Immanuel Kant pernah berkata bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Maka pendidikan, dengan atau tanpa dana besar, seharusnya menjadi jalan pembentukan manusia merdeka, bukan sekadar pengisi daftar hadir.

Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah yang membebaskan. Pendidikan yang hanya dibangun berdasarkan logika proyek dan target serapan justru akan menindas dengan halus, karena mengabaikan realitas kultural, bahasa lokal, dan nilai-nilai komunitas kampung. Maka pertanyaannya. Apakah anggaran Rp. 1,1 triliun benar-benar membuka ruang pembebasan? Ataukah sekadar mempertebal birokrasi?

Etika Anggaran: Suara Sunyi Anak Kampung

Filsuf Emmanuel Levinas menyatakan bahwa etika dimulai dari perjumpaan dengan wajah-wajah orang lain. Dalam konteks Mimika, wajah itu adalah anak-anak yang berjalan kaki berjam-jam ke sekolah, guru honorer yang bertahan dengan gaji minim, atau mama-mama yang jual pinang demi beli seragam.

Etika anggaran artinya menempatkan wajah-wajah itulah sebagai pusat pertimbangan, bukan hanya grafik dan realisasi belanja. Ruang perumusan peruntukannya harus terbuka diakses oleh publik.

Mandatory Spending: Ketika Kewajiban Hukum Tidak Menjamin Keadilan

Meski tampak besar, anggaran Pendidikan Mimika sebenarnya belum memenuhi mandatory spending 20% yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003. Dengan total APBD sekitar 6,4 triliun, maka semestinya pendidikan mendapat Rp. 1,8 triliu. Namun realisasinya hanya Rp.1,1 triliun (sekitar 17, 26%). Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi kegagalan memenuhi keadilan dasar. Dalam bahasa John Rawls, negara gagal mendistribusikan sumber daya ke sektor yang menjadi hak semua warga, terutama yang paling rentan.

Transparansi: Dari Etika Wajah ke Kuasa Pengetahuan

Transparansi bukan sekadar unggahan dokumen PDF di laman OPD. Ia adalah komitmen moral dan politik untuk membuka ruang partisipasi rakyat. Dalam pandangan Habermas, ruang publik harus menjadi arena wacana rasional dan setara. Dan Foucault mengingatkan: Siapa yang berhak tahu, itulah yang memegang kuasa.

Maka rakyat Mimika, orang tua, siswa, guru honorer, masyarakat adat, dan berbagai elemen sosial lainnya harus diberi akses bermakna terhadap bagaimana dana itu dirumuskan, digunakan, dievaluasi. Melalui forum kampung, infografis lokal, atau kurikulum yang membekali siswa dengan pengetahuan kritis tentang anggaran.

Dari Angka ke Makna

Anggaran Rp. 1,1 triliun bisa menjadi tonggak sejarah, atau bisa juga menjadi jejak kehampaan. Semua tergantung dari bagaimana kita memaknainya. Apakah sebagai nalar pembebasan, atau sekadar anggaran yang membisu dan bahkan ditabuhkan.

Pendidikan bukan hanya urusan gedung dan serapan dana, tapi soal relasi kuasa, nilai, dan keberpihakan. Maka pertanyaan filsafat yang penting untuk Mimika hari ini adalah. Apakah angka besar itu menghadirkan keadilan, atau justru menyembunyikan mereka yang paling layak disuarakan? (Isi tulisan tanggung jawab penulis)