Namun, pertobatan ekologis tidak berarti manusia harus berhenti mengelola alam demi kesejahteraan. Sebaliknya, manusia diajak untuk mengelola alam dengan kasih dan keseimbangan. Orang yang mengelola alam dengan kasih akan mempertimbangkan dampaknya terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan lingkungan.

Peran masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola alam di Papua sangat penting. Sayangnya, peran mereka sering kali tidak dihargai. Masyarakat adat dianggap sebagai penghambat pembangunan dan kemajuan, bahkan kerap dihadapkan pada kekuatan senjata.

Lembaga adat dipolitisasi demi kepentingan pihak tertentu, sehingga suara masyarakat adat dibungkam. Hak-hak mereka terancam hilang karena dianggap bertentangan dengan program pemerintah. Jika situasi ini terus berlanjut, maka seruan “Pertobatan Ekologis” yang disuarakan oleh Gereja Katolik Indonesia (KWI) tidak akan dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Suara masyarakat adat dalam menjaga hutan dan tanah adalah suara yang penting untuk keseimbangan alam semesta. Mereka bukan musuh negara, tetapi pelindung kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang bijak untuk menyelamatkan alam serta menghargai masyarakat adat demi kemajuan bangsa.

Sebagai wujud nyata “Pertobatan Ekologis” dan pelaksanaan “Gertak” (Gerakan Tungku Api Kehidupan) tahun ini, saya mengajak seluruh umat yang pernah menebang pohon, mengajak orang lain menebang pohon, atau mensponsori penebangan pohon, tanaman hias, dan bunga, untuk menanam kembali pohon atau tanaman di pekarangan, lahan, hutan, atau tempat lain yang memungkinkan.

Kita baru saja menyaksikan pelantikan pemenang pemilukada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di wilayah Keuskupan Timika. Sebagai pimpinan Keuskupan Timika, saya mengucapkan selamat kepada para pemenang, dan bagi yang belum terpilih, mari kita terima hasilnya dengan lapang dada serta tetap berkontribusi dalam membangun daerah masing-masing.

Kita semua menyadari bahwa dalam setiap kontestasi politik, berbagai cara digunakan untuk meraih kemenangan, baik yang benar maupun yang keliru. Oleh karena itu, dalam Masa Prapaskah ini, marilah kita memohon ampun kepada Tuhan atas segala kesalahan dan dosa, serta berupaya membangun kebersamaan untuk kemajuan bersama. Waktu tidak akan menunggu manusia; mari kita melangkah maju dalam keutuhan ciptaan Tuhan.

Tahun ini ditetapkan sebagai Tahun Yobel oleh Bapa Suci Paus Fransiskus. Kita telah membuka Tahun Yobel dengan membuka Porta Santa (Pintu Suci) di Gereja Katedral Keuskupan Timika pada awal Februari. Bunda Gereja mengajak kita untuk menjadi “Peziarah Pengharapan.”

Bumi ini adalah tempat peziarahan kita menuju Tuhan di akhir zaman. Dalam pengharapan, marilah kita mencintai ciptaan Tuhan, menjaga kesejahteraan bersama, serta menjaga keseimbangan alam semesta. Gerakan Tungku Api Kehidupan menjadi simbol persekutuan dan kebersamaan dalam peziarahan ini. **

Timika, 28 Februari 2025.

RD. Marthen Ekowaibi Kuayo, Administrator Keuskupan Timika.