Oleh : Laurens Minipko

DI TANAH yang dijuluki Tanah Injil-Tanah Papua, kemenangan dalam politik seharusnya tidak hanya diukur dari banyaknya suara, tapi dari seberapa tulus dan adilnya proses merawat harapan rakyat kecil. Pilkada Papua, sebagaimana kita saksikan berulang kali, kerap bergulir bagai parade janji, sementara kehidupan dasar seperti pendidikan tinggi, mahasiswa, dan kampus-kampus lokal terus terbenam dalam krisis senyap.

Kita hidup di tengah realitas Pilkada yang sangat tidak seimbang. Baliho membanjiri kota, sementara asrama mahasiswa bocor di musim hujan, spanduk janji pembangunan terpasang megah, sementara perpustakaan kampus nyaris tidak punya buku baru. Para calon pemimpin datang silih berganti, tapi mahasiswa terkapar karena beban berat uang semester. Di sana terpapar di hadapan nurani kita dunia kampus, jantung intelektual dan nurani anak muda, tetap terpinggirkan.

”MTQ

Filsafat Sosial dan Etika Pelayanan Politik

Filsuf Emmanuel Levinas pernah mengajukan gagasan paling radikal yakni bahwa “wajah orang lain” (The face of others) adalah panggilan pertama bagi tanggung jawab moral. Dalam konteks Papua, wajah itu bukan hanya wajah pemilih, tapi wajah mahasiswa yang berdiri di jalanan membawa spanduk “selamatkan dunia kampus” atau “turunkan uang semester”, wajah anak-anak kampung yang merindukan gedung sekolah dan guru, dan wajah dosen kontrak yang tidak digaji selama berbulan-bulan.

Sementara itu, Paul Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menekankan bahwa pendidikan adalah alat pembebasan atau alat penindasan, tergantung pada siapa yang mengendalikan dan untuk siapa ia diarahkan. Calon Gubernur Papua yang benar-benar berorientasi pada pembangunan kota yang mandiri, belajar dari dirinya sendiri, menggunakan ilmu pengetahuan untuk memecahkan persoalan bersama kota, melibatkan warganya secara adil dan berkelanjutan, seharusnya menjadikan pembenahan dunia pendidikan tinggi sebagai titik berangkat strategis. Ia bukan sekadar tambahan agenda kampanye dan janji pelayanan ke depan.

Dari Demo Mahasiswa ke Desain Perubahan

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai demonstrasi mahasiswa Papua, baik di Jayapura, Nabire, maupun Merauke, dari isu kekerasan negara hingga kebobrokan pengelolaan kampus negeri. Tapi apa yang terjadi? Suara mereka sering dianggap gangguan, bukan sebagai indikator krisis kebijakan.

Pilkada bukan sekadar tentang menang dan dilantik. Ia adalah titik awal re-orientasi etika kekuasaan. Dari sekadar menguasai dan meredam rakyat muda kampus menjadi melayani nurani rakyat kampus. Dan untuk itu dunia kampus harus menjadi salah satu prioritas utama.

Calon Gubernur Papua yang memahami pentingnya transformasi kampus berarti memahami bahwa pendidikan bukan urusan kementerian semata, tapi adalah bagian dari ekosistem keadilan sosial. Ia akan memperioritaskan:

• Dana bantuan studi berbasis keadilan daerah (bukan kedekatan politik).

• Audit terhadap kampus-kampus negeri yang sarat konflik kepemimpinan.

• Ketersediaan Pustaka dan akses internet di kampus lokal.

• Dan jaminan hak asrama yang manusiawi bagi mahasiswa dari wilayah pegunungan dan pesisir.

Siapa Gubernur yang Kita Tunggu?

Kita tidak butuh gubernur yang pandai berkata “kami akan dengarkan mahasiswa”, tapi yang berani duduk di ruang-ruang diskusi kampus, mendengar kritik, dan menyusun kebijakan berdasarkan hasil kajian anak muda Papua sendiri.

Etika pelayanan publik di Papua bukan perkara protokol dan pidato di mimbar, tapi keberanian mencuci kaki dunia pendidikan yang sedang kotor oleh politik, uang, dan birokrasi. Karena itu, Pilkada Papua bukanlah soal siapa yang menang di kotak suara, tapi siapa yang berkomitmen bulat menghidupkan kampus sebagai tempat membangun nalar sehat, martabat dan masa depan bangsa.

Melampaui Retorika, Merawat Nalar di Tengah Polarisasi

Pilkada di Papua hari ini tidak hanya memperlihatkan kompetisi politik biasa. Ia juga memperlihatkan perang simbol, perebutan narasi, dan serbuan opini populis yang menggoda, tapi kerap menyesatkan nalar publik, terutama generasi muda yang sedang bergairah ikut dalam dinamika Paslon.

Di banyak ruang media sosial, nalar publik tercerabut dari disiplin berpikir kritis, digantikan oleh pujian kosong, fitnah politik, dan heroisme buta terhadap pasangan calon. Ini bukan demokrasi deliberatif yang sehat, melainkan kemerosotan berpikir. Dalam bahasa Antonio Gramsci, kita sedang menyaksikan dominasi melalui hegemoni kultural, di mana suara-suara kampus, pemuda cerdas, dan gerakan mahasiswa justru ikut tenggelam dalam arus “kampanye hening yang bising.”

Mengapa kampus tidak lagi menjadi benteng nalar publik? Karena kampus, dalam banyak kasus di Papua, telah dijinakkan oleh kekuasaan atau dibiarkan mandek oleh ketidakpedulian negara dan elit lokal.

Pendidikan Tinggi dan Tanggung Jawab Moral Seorang Gubernur

Calon gubernur yang kita dambakan bukan hanya sosok yang mampu menang dalam kontestasi, tetapi pemimpin yang sanggup memulihkan makna pendidikan sebagai pembebas, bukan pelayan sistem.

Sebagaimana Frantz Fanon tegaskan dalam The Wretched of the Earth, pendidikan kolonial menciptakan intelektual yang terasing dari rakyat. Maka, jika kampus-kampus di Papua hari ini menjadi alat politik elite atau ruang sunyi yang tidak berpihak pada keadilan sosial, maka kita sedang mengulangi kesalahan kolonialisme dalam wajah baru.

Pilkada Papua tahun ini harus ditafsir ulang sebagai titik balik perjuangan mengembalikan kampus sebagai rumah nalar dan ruang keberpihakan.

Karena itu, Pilkada Papua bukan sekadar menang, tapi:

• Siapa calon gubernur yang akan menginisiasi dialog tahunan antara kampus dan pemerintah?

• Siapa yang bersedia menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Dana Otonomi Khusus untuk pengembangan kampus berbasis kearifan lokal.

• Siapa yang berani menolak politik transaksional terhadap BEM dan organisasi kemahasiswaan?

Kemenangan yang Etis, Bukan Sekadar Elektoral

Etika dalam filsafat sosial tidak bisa dilepaskan dari keberpihakan pada yang lemah, pada yang sunyi, pada yang dilupakan. Maka, menang secara elektoral tanpa keberpihakan pada dunia pendidikan adalah kekalahan moral yang kelak memiskinkan masa depan Papua.

Bukan sekadar menang dalam angka KPU yang rumusnya aplikasi namun tetap dikelolah oleh tangan manusia, tetapi menang dalam sejarah, dengan jejak yang dikenang sebagai pemimpin yang menyalakan kembali pelita kampus dan memulihkan martabat kaum muda.

Fajar Injil Itu Harus Disambut

Menjadi Gubernur Papua yang berorientasi membangun Papua mulai dari kampus bukan utopia. Ia adalah fajar Injil. Fajar yang tidak datang untuk disembunyikan di balik kabut kampanye.

Ia datang untuk disambut dan diproklamirkan. Maka, mari kita dorong para calon Gubernur Papua, siapa pun dia, untuk tidak sekadar merancang pembangunan fisik, tapi membongkar krisis epistemik yang melumpuhkan dunia pendidikan Papua.

Karena ketika kampus bangkit, maka dari tanah Injil ini tidak hanya akan melahirkan lulusan, tetapi pemikir, pelayan, pemimpin yang mampu berjalan di antara rakyat dengan terang nalar dan kasih Injili. (Isi tulisan tanggung jawab penulis)