Timika,papuaglobalnews.com –  Antonius Rahabav, Ketua Kitong Anti Maladministrasi dan Kelompok Masyarakat Peduli Maladministrasi Perwakilan Ombusdman RI (2 PAM3)  menyampaikan hingga saat ini lembaganya telah  menerima 21 pengaduan dari masyarakat Mimika.

Antonius menyampaikan hal ini di sela-sela peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional di Kantor Lemasa Jalan Cenderawasih pada Sabtu 9 Agustus 2025.

Ia menjelaskan pengaduan ini disampaikan oleh masyarakat berkaitan pelayanan dasar dan sosial seperti infrastruktur jalan, jembatan, transportasi laut untuk masyarakat pedalaman. Pengaduan-pengaduan itu dilaporkan oleh warga dari Distrik Jita, Jila dan Mimika Timur Jauh.

Merespons terhadap pengaduan-pengaduan masyarakat ini pihaknya sementara melakukan pemetaan untuk menjadi suatu dasar pemikiran yang nanti dimasukan ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Beppeda) untuk menindaklanjutinya.

Pengaduan ini isinya lebih terkait proyek mangkrak dan belum adanya sentuhan pembangunan fasilitas jalan dan jembatan yang menghubungkan antarkampung maupun laut ke darat atau pembangunan yang tidak tepat sasaran.

Selain itu lanjutnya, pengaduan berkaitan hak kepemilikan tanah.

“Di Mimika banyak tanah yang bermasalah dilakukan oleh oknum mafia tanah dengan membuat sertifikat diatas sertifikat,” katanya.

Tindakan praktek maladministrasi ini dilakukan oknum mafia tanah bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Di mana BPN pada saat pengurusan dokumen belum memastikan secara benar siapa pemilik lahan sebenarnya.

Menurutnya, untuk menghindari  masalah sertifikat ganda di lahan serupa, sebelum menerbitkan sertifikat BPN harus terlebih dahulu melihat riwayat tanahnya bukan serta merta langsung membuat akta jual beli tanah.

“Jadi sekarang masyarakat adat Amungme dan Kamoro mendesak  kembalikan hak ulayat mereka, memang ini sangat benar. Karena tanah itu hak milik mereka,” katanya.

Ia mencontohkan lahan yang dibangun Kantor Bupati di SP3, Kelurahan Karang Senang Distrik Kuala Kencana hingga saat ini belum diketahui siapa pemilik sebenarnya. Termasuk  Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) yang baru dibangun juga bermasalah dan beberapa lokasi lainnya.

Selain itu pengaduan mengenai pembayaran ganti rugi tanah yang tidak tepat sasaran. Kesalahan ini paling banyak dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Mimika.

Kemudian masyarakat adat Arwanop akan melakukan pengaduan soal hak ulayat mereka yang sekarang digali PT Freeport Indonesia.

“Perusahaan tambang itu sudah menggali dan merusak tanah adat, namun mengabaikan pembanyaran ganti ruginya. Freeport hanya fokus pada penanganan masalah Analisi Dampak Lingkungan (Amdal),” katanya.

Namun lanjutnya, berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Pertanahan Nasional  maupun undang-undang tentang perlindungan masyarakat adat menghendaki tanah digunakan  untuk kepentingan umum harus dibayar ganti rugi terlebih dahulu baru bisa digunakan.

“Freeport inikan BUMN, bukan perusahaan milik usaha lain. Kalau Freeport ambil hak ulayat masyarakat adat punya tanah, dia harus bayar ganti rugi dulu. Kepentingan umum harus diperhatikan, baru masuk bisnis dan Amdalnya,” katanya.

Ia mengungkapkan, terjadinya konflik dan keributan di tengah masyarakat selama ini salah satunya disebabkan ketidakadilan yang dialzmi masyarakat kecil.

Menurutnya, meskipun Freeport melakukan penambangan di area kawasan mendapat Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Pemerintah Pusat namun dalam konvensi-konvensi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan masalah hak-hak masyarakat adat sangat dikedepankan untuk diperhatikan.

“Bukan karena dia kapitalis yang sangat disegani langsung turun gali begitu saja, tidak bisa. Harus duduk bicara dulu cari tahu siapa milik tanah ini supaya tidak ada keributan di belakang,” pungkasnya.  **